“Masygullah hati-Nya” – Yesus sedih, bersusah hati, mengerang dalam jiwa-Nya. Begitulah cara Yohanes menggambarkan karakter ilahi dalam diri Yesus ketika berhadapan dengan sebuah paket kenyataan mutlak: kematian dan duka. Karakter ini merupakan bukti solidaritas Allah, Pemilik kehidupan, yang mencintai seluruh ciptaan-Nya. Yesus tidak sekadar simpati dan prihatin. Dia berempati: ikut memikul pengalaman berat tersebut dan menyatakan keberpihakan-Nya terhadap jiwa-jiwa yang sedang tersayat pisau kesedihan.
Di tengah duka yang dialami Maria dan Marta, Yesus tidak banyak bertanya tentang penyakit atau pun proses kematian Lazarus. Dia menangis merasakan duka itu, lalu melakukan tindakan kebaikan yang memuliakan Allah. Hal ini mungkin sedikit berbeda dari sikap kita pada masa kini. Kita sering melontarkan banyak pertanyaan karena penasaran tentang “Lazarus yang mati”, tanpa peduli pada perasaan “Maria dan Marta” – keluarga yang sedang kehilangan. Pada titik duka inilah, Yesus berkata: "Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati,…” Yesus teguh menyatakan kuasa-Nya atas kehidupan, sebuah kepastian di tengah pergumulan. Akan tetapi, setelah itu, Dia pun bertanya: “Percayakah engkau?” Bagi Yesus, kehidupan bukan hanya tentang napas dan nyawa, namun juga keutuhan jiwa yang terpulihkan karena sebuah percaya.
Dalam peristiwa dibangkitkannya Lazarus, Yesus pun tidak bertindak sendiri. Dia menyuruh orang-orang yang ada di sekitar-Nya untuk terlibat aktif. Mereka bergerak mengangkat batu kubur itu, sehingga dari dalamnya keluarlah kehidupan dan dari jiwa yang meratap terpancar sukacita. Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita percaya dan ikut bertindak menghapus ratapan dunia?
Kita mungkin tidak bisa membangkitkan Lazarus dari kematian. Namun, bersama Yesus, kita dapat membangkitkan semangat di hati mereka yang sedang lelah dan berputus asa, membangkitkan sukacita dalam jiwa yang sedih dan terluka, membangkitkan harapan bagi mereka yang susah dan menderita, membangkitkan kedamaian di tengah pertikaian, membangkitkan kebenaran di tengah kepalsuan, membangkitkan kesadaran di tengah ketidakpedulian, membangkitkan solidaritas di tengah keegoisan. Memperjuangkan kehidupan tidaklah harus kita wujudkan dengan tindakan spektakuler. Misalnya, dalam menghadapi derita dunia akibat virus yang sedang terjadi, kita dapat berempati dengan tidak mementingkan diri sendiri, tidak gegabah, menahan diri dari bepergian, mempraktikkan social-distancing, tidak melukai perasaan para korban dengan cara apa pun, tidak menyebarkan berita yang meresahkan masyarakat, serta sungguh-sungguh mendoakan para medis, pemerintah, dan berbagai pihak lainnya yang sedang berjuang di garis depan. Dengan menjaga diri dan sesama, sebenarnya kita sedang ikut memperjuangkan sebuah kehidupan. Itu tindakan yang memuliakan Allah.
Yesus sudah memulai karya keselamatan-Nya dan menyuruh kita ikut “mengangkat batu kubur itu.” Memang, di saat kita meneladani Dia dalam memulihkan kehidupan, ada saja pihak-pihak yang secara sengaja justru ingin menghancurkan dunia. Namun, percayalah: bersama Yesus, perjuangan kita tidak pernah sia-sia. Karena itu, tetaplah berjuang bersama Yesus! (WBM)