Kapan dan bagaimana kita mempercayai bahwa Tuhan benar-benar berada di tengah kita? Ketika kita menghadapi persoalan berat dalam kehidupan lalu memohon kepada Allah agar Dia menolong kita, namun merasa bahwa Dia tidak mendengarkan teriakan kita, maka bisa dengan gampang kita akan menyimpulkan bahwa rupanya Tuhan tidak berada di tengah kita. Sebaliknya, jika kita mengalami bahwa persoalan kita dapat diselesaikan dengan baik, kita akan berseru “Allah sungguh-sungguh hadir dan menolong saya”.

Bangsa Israel baru saja terlepas dari genggaman tiranik Firaun yang memperbudak mereka di Mesir dan dibebaskan Allah melalui kepemimpinan Musa. Belum lama berada di perjalanan sebagai orang-orang merdeka, mereka menjumpai masalah hidup-mati karena mereka tidak mempunyai air. Ketiadaan air, apalagi di padang gurun, berarti ancaman kematian! Mereka lalu memprotes Musa, yang sebenarnya juga memprotes Allah sendiri.  Akhir ceritanya melegakan dan menghidupkan: Allah menyediakan air yang dibutuhkan oleh umat itu, juga dengan memakai tangan Musa yang memukulkan tongkatnya ke gunung batu di Horeb. Mujizat Allah terjadi, dan melaluinya persoalan telah terselesaikan dengan ajaib!

Namun, ada yang belum selesai. Allah tidak menginginkan bahwa kehadiran-Nya hanya dialami oleh umat itu sekedar melalui tersedianya air yang mereka butuhkan. Allah tidak menghendaki bahwa kekuasaan-Nya untuk menolong dibatasi pada materi. Allah juga ingin menghindarkan umat yang ditolong-Nya itu dari pemikiran seolah-olah Allah bisa disetir untuk bertindak sesuai dengan yang umat inginkan. Pertanyaan reflektif

“Adakah Tuhan di tengah-tengah kita atau tidak?” lalu menjadi kritik tajam agar umat Israel tidak menentukan hadirnya Allah dan kuasa-Nya untuk menolong berdasarkan apa yang mereka minta dan peroleh.

Adakah Allah hadir di tengah kehidupan Saudara? Terutama, ketika Saudara sedang menghadapi berbagai persoalan gawat dalam kehidupan, sudah berdoa bertalu-talu kepada Dia, namun sepertinya persoalan tidak terselesaikan? Lalu Saudara bertanya, “Adakah Tuhan benar-benar hadir dalam kehidupanku?”. Dalam pengalaman seperti itu, yang Saudara pertaruhkan sebenarnya adalah keimanan Saudara kepada Allah. Dengan belajar dari pengalaman umat Israel di Masa dan Meriba, tetaplah percaya kepada Allah yang mengasihi dan tidak akan pernah membiarkan Saudara! Namun, biarkanlah Allah yang selalu hadir dalam kehidupan Saudara itu bertindak menurut kehendak-Nya yang baik bagi Saudara, dengan cara-cara yang ditentukan-Nya sendiri, dan pada waktu yang ditetapkan oleh-Nya.

Dalam situasi kehidupan yang sesulit apa pun, semoga Saudara tidak akan mencobai Dia dengan bertanya, “Adakah Tuhan di tengah kehidupanku?”. (LHP)