Peristiwa kebangkitan Kristus, tidak serta merta menjadikan sukacita dan kegirangan bagi para murid dan pengikut-Nya. Faktor psikologis, situasi politik, tekanan dari penguasa dan pemimpin agama menjadikan mereka hanyut dan larut dalam ketakutan. Upaya menjauhkan diri dari khalayak dan menutup rapat pintu dan jendela tempat di mana mereka berkumpul adalah usaha agar diri mereka tidak diketahui. Mereka tidak mau menjadi bahan perbincangan khalayak, terlebih keterlibatan atas dugaan adanya penangkapan seperti yang dialami guru mereka. Kenyataan yang tidak normal dengan cara menyembunyikan diri dan bertindak tidak sewajarnya  menjadikan mereka mati dalam hidup dan pergaulan di tengah masyarakat. Relasi sosial tidak berjalan daloam hidup mereka. Dinding penyekat yang sekaligus mengungkung diri menjadikan mereka tidak lagi memiliki gerak bebas dalam menentukan arah, tujuan dan apa yang seharusnya diwujudkan dalam rutinitas hidup sehari-hari. Mereka menjadi lebih takut kepada apa yang belum tentu dan tidak terjadi. Cara pandang merekapun menjadi sempit, kehilangan harapan dan kekosongan iman.

Di tengah keadaan yang terpuruk itulah, Yesus yang mereka saksikan kematian-Nya di atas kayu salib, dan dikuburkan dalam waktu tergesa-gesa hadir di hadapan mereka. Kedatangan-Nya begitu mengagetkan, membuat mereka terpesona, antara yakin dan tidak. Bukan sekedar omong kosong dan hoax yang beredar dari para perempuan, namun fakta di mana sosok yang mereka cintai dan harapkan ternyata benar-benar hidup, bangkit dan tidak mati lagi. “Damai sejahtera bagi kamu”, bukan sekedar sapaan atas kehadiran seseorang bagi sesamanya. Salam itu memberikan arti dan makna mendalam dengan ketentraman hati, kenyamanan dan hilangnya kecemasan atas keraguan yang mereka hadapi. Dengan hilangnya keterpurukan atas ketakutan yang mengancam dirinya. Murid-murid dan pengikut-Nya yang menyambut kehadiran Yesus yang mau bangkit harus meninggalkan kenyamanan dari persembunyian dan tembok yang mengekang. Mereka harus memulai bersosialisasi dengan lingkungan dengan tidak menaruh dendam, mulai dengan tidak menaruh dendam namun mengampuni termasuk kepada mereka yang secara langsung atau tidak langsung menyalibkan Yesus.

Bagaimana dengan mereka yang menolak kebangkitan-Nya dan meminta bukti? Bukan tanda-tanda yang kelihatan dan bukti nyata yang menjadi satu-satunya orang untuk menerima Yesus yang menyelamatkan. Kerendahan hati dan hikmat jauh lebih penting sebagai tanda iman untuk menghayati dan menerima Yesus. Dengan kerendahan hati dan hikmat, maka seorang dipimpin Roh Kudus dan bukan pada egonya untuk berjumpa dengan Yesus yang bangkit. Iman jauh lebih berarti ketimbang bukti namun tidak menghayati akan misteri Kristus. Tomas yang semula kekeh dengan pendiriannya akhirnya luluh tatkala Yesus mempersilakan keinginannya untuk mencucukan jari ke dalam bekas paku pada tangan-Nya dan bekas tombak pada lambung-Nya.

Paskah menjadikan orang percaya memiliki iman yang menghidupkan dengan pandangan positif tentang apa yang terjadi, tidak mudah terprofokasi atas berita-berita yang belum tentu dan tidak jelas kebenarannya. Perubahan dan cara pandang itu terjadi bila kita memiliki iman yang terus menyambut Kristus yang bangkit dan hadir dalam hidup kita. Dia terus ada bersama dengan kita selama kita tidak menyembunyikan diri, tidak membuat jarak bahkan menyekat diri dalam tembok yang membuat diri kita berlindung dalam ketakutan. Kristus bangkit, Dia menghidupkan kita. Amin. SRS