Rasul Paulus tidak pernah membandingkan jenis ibadah mana yang istimewa, baik berkumpul di tempat ibadah atau pun berkarya di tengah dunia. Dia justru sedang mengajak kita untuk menjaga keseimbangan di antara keduanya. Apa yang kita lakukan di tempat ibadah, sepatutnya berdampak dalam perjumpaan kita dengan sesama. Persekutuan dan persaudaraan yang kita bina di tempat ibadah, dengan Tuhan dan sesama, seyogyanya juga terasa di lingkungkan keluarga, tempat kerja, tempat belajar, tempat bergaul, dan di mana pun kita berada. Firman yang telah diberitakan di tempat ibadah haruslah menggugah dan mengubah diri kita secara pribadi, serta mendorong kita untuk merealisasikannya dalam aktivitas hidup setiap hari. Singkatnya, kita diubah untuk membawa perubahan yang baik, yang sesuai dengan kehendak Allah. Itulah ibadah yang sejati.

Rasul Paulus mengajak kita untuk berubah bukan untuk menjadi orang lain, melainkan untuk menjadi sosok yang lebih baik dari diri kita yang sebelumnya. Kita diajak untuk menjadi pribadi dan persekutuan yang baru, segar, dan sehat sebagai bentuk reaksi kita atas keselamatan yang telah Allah anugerahkan. Kita dihimbau untuk mengubah cara pandang dan cara hidup yang lama ke dalam cara baru, yaitu cara Allah, cara-cara yang mengutamakan kasih, kebenaran, dan keadilan.

Rasa nyaman, sikap tertutup, ketidakpekaan, kemalasan, dan rasa takut kadang membuat orang sulit untuk berubah dalam menjalani kehidupan. Akibatnya, kita menjadi orang-orang yang tidak berkembang, bahkan menutup kesempatan Allah berkarya di dalam dan melalui diri kita. Akan tetapi, di sisi lain, punya kesadaran dan keinginan saja ternyata belum cukup. Pembaruan dari dalam diri kita akan terjadi jika ada kerelaan hati untuk berubah, keputusan yang tegas, dan tindakan yang bijak.

Kita pun perlu membuka diri terhadap proses pembaruan yang sedang Allah nyatakan. Cara Allah melakukan pembaruan sering membuat kita terpana kagum dan kadang mungkin juga menyakitkan. Namun, tentu saja pembaruan yang Allah kerjakan selalu bertujuan untuk membuat kita menjadi pribadi dan persekutuan yang utuh, pribadi dan persekutuan yang memantulkan citra-Nya. Pembaruan yang Allah kerjakan perlu juga dipadukan dengan kesediaan dan kesiapan kita untuk ikut dalam proses pembaruan itu. Hal ini mungkin tidak mudah, namun tidak mustahil juga untuk dikerjakan. Hal ini juga menjadi tantangan bagi kita selaku Gereja Kristen Indonesia. Bersediakah kita dibarui dan membarui diri?

Dibarui oleh Allah dan sikap konsisten kita dalam memperjuangkan pembaruan yang berkenan kepada Allah bisa saja membuat kita dianggap aneh, bahkan ditolak oleh dunia. Namun, surat kepada jemaat di Roma ini sedang menguatkan kita: “Jangan takut menjadi berbeda dengan dunia, jika kita sedang berproses untuk menjadi serupa dengan Kristus.” Ingatlah, di dalam Kristus dan bersama Kristus, hidup yang berubah pasti menghasilkan hidup yang berbuah. Itulah ibadah yang sejati. (WBM)