Membaca kitab Ayub adalah membaca sebuah kisah. Kisah perjalanan hidup seorang Ayub dengan segala pergumulan kehidupan yang harus dia hadapi. Itu sebabnya ketika kita melihat akhir kisahnya, kita tidak bisa memotongnya begitu saja tanpa melihat awal kisah itu.

Ayub adalah  orang yang saleh dan jujur; takut akan Allah dan menjauhi kejahatan. Ia mendapat tujuh anak laki-laki dan tiga anak perempuan. Ia memiliki tujuh ribu ekor kambing domba, tiga ribu ekor unta, lima ratus pasang lembu, lima ratus keledai betina. Ia adalah orang terkaya dari semua orang di sebelah timur. (1: 1-3) Tiba-tiba dalam sekejap mata semua yang dimilikinya lenyap tak bersisa. Semua anaknya mati, dan semua hartanya dirampas. Menyikapi peristiwa luar biasa berat itu ia berkata: “Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil, terpujilah nama TUHAN!" (1: 21). Alkitab juga memberi kesaksian: “Dalam kesemuanya itu Ayub tidak berbuat dosa dan tidak menuduh Allah berbuat yang kurang patut.” (1: 22) Ayub juga mengalami penderitaan yang sangat berat dengan tubuhnya sendiri. Ia ditimpa barah yang busuk dari telapak kakinya sampai ke batu kepalanya. Dengan sekeping beling ia garuk-garuk badannya. Dalam situasi yang seperti itu isterinya bahkan berkata: "Masih bertekunkah engkau dalam kesalehanmu? Kutukilah Allahmu dan matilah!" (2: 7-9) Tetapi Ayub meresponsnya dengan berkata: “Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk?" Sekali lagi Alkitab memberi kesaksian: “Dalam kesemuanya itu Ayub tidak berbuat dosa dengan bibirnya.” (2: 10) Pada sisi yang lain, Ayub juga harus berhadapan dengan pandangan teologis teman-temannya yang cenderung mempersalahkan bahkan menghakiminya. Luar biasa derita Ayub.

Mungkin kita bertanya dalam hati kita: “Andai aku yang mengalaminya, kuatkah aku? Apa yang akan aku lakukan? Meninggalkan Tuhankah…, atau tetap setia dan taat kepada-Nya?” Kita menemukan jawabannya melalui kisah hidup Ayub. Ayub menjalani seluruh perjalanan hidupnya bersama dengan Tuhan, bergumul bersama Tuhan. Ia tetap setia dan taat kepada Tuhan. Dalam kekecewaan, bahkan nyaris tanpa harapan, Ayub terus menjalin relasi dengan Tuhan. Berat dan penuh derita kehidupannya, namun tak pernah ia meninggalkan Tuhan. Ia tetap membangun kesetiaan dan ketaatannya kepada Tuhan. Pada akhirnya, Ayub dibenarkan oleh Tuhan karena kesetiaan dan ketaatannya. Hidupnya dipulihkan. Itulah berkat terindah dalam kehidupannya.

Maukah Saudara mengalami dan merasakan berkat Tuhan bagi Saudara dan rumah tangga Saudara? Setia dan taatlah pada Tuhan senantiasa. Berkat indah Tuhan tersedia bagi Saudara.

Selamat menjalani hidup dalam kesetiaan dan ketaatan. Tuhan memberkati. (JW)