Setiap orang yang memohon: “Tuhan, pulihkan kami!” mengenali keberadaannya dalam keadaan buruk. Entah itu sakit, stress, rugi maupun gagal. Entah itu berhubungan dengan fisik, ekonomi maupun retak atau putusnya relasi antarmanusia bahkan relasi dengan Tuhan. Biasanya itu terjadi karena sebuah kesalahan, pelanggaran dan dosa.

Permohonan demikian sangatlah wajar, sebab kita selalu merindukan yang baik, keberhasilan dan damai sejahtera. Namun untuk memperolehnya dibutuhkan kasih karunia dan anugerah Tuhan, serta iktikad dari kita.  Iktikad untuk mengakui, memberitahukan dan membeberkan kesalahan, pelanggaran dan dosa yang kita perbuat terhadap Tuhan dan kepada sesama. Kemauan untuk membuka belenggu kezaliman dan ketidakadilan dengan menaruh belas kasihan kepada yang tertindas dan teraniaya. Kerelaan untuk membagi dan berbagi kehidupan bagi orang lain; remah atau sepotong roti, sesuap atau sepiring nasi, seteguk atau segelas air. Ketulusan untuk makan bersama dengan orang-orang yang tersingkir dan sengaja disingkirkan. Kemurahan hati bagi setiap orang yang tak berpengalaman, bagi orang baru, bagi orang yang tak seaktif, sepengalaman dan sepintar kita. Keberanian melihat dan memperhatikan saudara sekandung, orang terdekat yang dalam kesusahan. Kegigihan dan kesabaran untuk mengampuni dan diampuni oleh anggota keluarga dan menerima mereka apa adanya.

Dalam relasi dengan Tuhan, kita juga perlu beriktikad, yaitu kepercayaan dan keyakinan yang teguh untuk melakukan kehendak-Nya. Mencari Tuhan dan bukan meninggalkan-Nya atau sengaja tidak mendengarkan suara-Nya. Berjuang mengenal segala cara, jalan serta rencana-Nya dan bukan sengaja memilih cara dan jalan kita sendiri. Belajar rendah hati untuk menanyakan hukum-hukum dan titah-titah Tuhan dan bukan sengaja memutuskan seturut mau kita dan hanya untuk memuaskan diri kita sendiri. Lebih lagi berusaha dengan segenap akal budi dan sekuat tenaga menghormati waktu sabat bersama Tuhan dan dengar-dengaran dengan Tuhan bukan sengaja menginjak hukum sabat, sengaja melakukan urusan pribadi sendiri, mewujudkan acara sendiri serta berkata omong kosong. Juga perlu memperhatikan kebutuhan hari sabat bagi orang lain, sebagai hari kenikmatan, hari yang mulia, hari yang khusus untuk menjalin relasi yang mesra dengan Tuhan dan dengan gereja terkecil kita, yaitu keluarga.

Jika hal itu diperhatikan, maka pemulihan dan penyembuhan akan mendatangi kita sebagai anugerah dan kasih karunia Tuhan. Tidak seorang pun dari kita yang menghendaki sakit, luka dan keterpecahan diri, keluarga maupun jemaat. Tidak seorang pun dari kita merencanakan kesepian dan kekosongan jiwa dan spiritual. Hingar bingar dan keriuhan pelayanan; gegap gempita dan euforia kegiatan; kepadatan dan kesibukan program jangan-jangan adalah belenggu dan kuk kita untuk dapat menikmati karya pemulihan dan penyembuhan Tuhan.

Seiring kita memohon, “Tuhan pulihkan kami!”, apakah kita, sebagai GKI khususnya GKI Kebayoran Baru, rela memulihkan, menyembuhkan dan menyehatkan diri sendiri. Sebab dengan pulihnya, sembuhnya dan sehatnya GKI khususnya GKI Kebayoran Baru, maka pelayanan akan berdaya guna, berdaya memulihkan dan menyembuhkan. Inilah cara mengucap syukur yang paling luar biasa. TMP.