Pada tanggal 17 Agustus 2016 yang lalu, bersama dengan segenap rakyat Indonesia di mana pun juga kita telah memperingati dan merayakan ulang tahun kemerdekaan Indonesia yang ke-71. Bagaimanakah kita memaknai sekali lagi kemerdekaan bangsa kita?

Pada suatu kali Yesus menyembuhkan seorang perempuan di sebuah rumah ibadat pada hari Sabat. Selama 18 tahun perempuan itu dibelenggu oleh penyakitnya, yang pada waktu itu dipahami karena “dirasuk roh”! Oleh penyakitnya itu, perempuan itu telah dibelenggu dan kehilangan kemerdekaan bahkan kemanusiaannya: dia bukan siapa-siapa, bahkan dianggap bukan lagi manusia secara utuh. Yesus menyembuhkan perempuan itu untuk menunjukkan kuasa dan kasih-Nya yang membebaskan dalam kerangka kerajaan Allah yang dihadirkan-Nya di dan bagi dunia. Dengan dipulihkan, perempuan itu bukan sekedar disembuhkan dari penyakitnya. Lebih mendasar daripada itu, melalui sentuhan Yesus, perempuan itu telah memperoleh kembali kemanusiaan dan harga dirinya sebagai manusia. Untuk mengungkapkannya, Yesus menyatakan dengan lantang bahwa perempuan itu adalah “keturunan Abraham”. Lebih lagi, Yesus melakukan itu dengan melewati batas-batas peraturan agama ketat-kaku yang ikut memperberat beban keterbelengguan perempuan itu. Kepala rumah ibadat itu marah karena Yesus menyembuhkan perempuan yang berpenyakit kronis, yang menurutnya tidak ada urgensinya untuk disembuhkan pada hari Sabat. Jawaban Yesus kepada kepala rumah ibadat menegaskan bahwa tindakan membebaskan perempuan itu dari belenggunya, jauh lebih utama dan penting daripada sekedar menaati peraturan agama apa pun. Perempuan itu dibebaskan dari belenggu hidupnya dan dapat kembali merayakan kehidupannya dengan memuliakan Allah.

Bangsa Indonesia yang secara politis telah 71 tahun merdeka ternyata masih dipenuhi dengan berbagai belenggu kehidupan. Kemiskinan yang menjerat anak pemulung menjadi pemulung, misalnya. Atau, perbudakan kejam tetapi tersembunyi-rapi yang dialami oleh karyawan-karyawan yang lemah posisi termasuk asisten rumah tangga. Yang lain lagi, penderitaan berkepanjangan yang menerpa istri/suami/anak akibat KDRT yang dialami mereka. Lalu, kehidupan pribadi maupun komunal yang terluka bahkan rusak karena ulah dan tindakan koruptif dari para koruptor busuk. Ini hanya sekedar beberapa contoh saja. Bagaimanapun, mereka yang mengalami belenggu-belenggu kehidupan seperti itu telah kehilangan harga diri bahkan kemanusiaan mereka.

Dalam kasih dan kuasa-Nya, Allah bekerja untuk membebaskan mereka dari belenggu-belenggu kehidupan dalam berbagai bentuknya. Allah berkehendak memulihkan kemanusiaan yang terluka dan remuk. Allah melakukannya dengan banyak cara yang tidak sepenuhnya dapat kita pahami, termasuk melalui orang-orang percaya dan gereja-Nya.

Dalam perspektif iman kita, Allah mau supaya kita ikut merayakan kehidupan bersama dengan mereka yang sudah dibebaskan dari belenggu-belenggu kehidupan mereka. Bagaimana caranya? Setidaknya ada dua hal. Pertama, kita tidak akan menjadi bagian dari penindas dan pembelenggu sesama kita, siapa pun mereka, apalagi jika hal itu kita lakukan dengan “bungkus indah” dari kesalehan yang palsu belaka. Kedua, kita ikut serta bersama dengan Allah untuk menjadi mitra-Nya dalam melepaskan belenggu-belenggu yang sedang merundung sesama kita, siapa pun mereka.

Jika kita dapat merayakan kehidupan bersama dengan mereka yang terbebas dari belenggu-belenggu hidup mereka, dan memuliakan Allah, kita telah ikut memaknai dan mengisi kemerdekaan bangsa kita sesuai dengan kehendak-Nya.(LHP)