Balas-membalas dianggap sebagai tindakan wajar dalam hidup bermasyarakat. Jika seorang berbuat baik kepada orang lain, maka sudah selayaknya dia akan menerima kebaikan dari orang yang telah mendapat kebaikannya. Keadaan ini tentu berbeda, bila seseorang justru diperlakukan sebaliknya. Demi harga diri dan pembenaran, sudah sangat umum upaya untuk menuntut dan membalas itu kita lakukan. Upaya pembenaran sering kita dengar, “Siapa yang menyakiti orang lain, harus merasakan sakit yang sama; patah ganti patah, mata ganti mata, gigi ganti gigi, bahkan mati harus diganti dengan mati.” Apakah dengan menuntut balas persoalan rampung? Pada dasarnya, tuntut menuntut tidak akan menyelesaikan persoalan, justru sebagai upaya pemuasan diri, mempermalukan, mencelakakan, bahkan membinasakan orang yang tidak disukai.

Menarik bagi kita, situasi semacam itu pun terjadi pada zaman Yesus. Dengan bangga mereka membenarkan diri dan mendasarkannya pada kitab suci. Ternyata, mereka membaca dan memberlakukannya sesuai dengan apa yang tertulis, serta menerapkannya sesuai dengan keinginannya. Kepuasan akan terasa lengkap, bila dendam telah mereka lampiaskan. Yesus hadir untuk meluruskan sikap atas tafsir dan pemahaman yang selama ini mereka pahami dan jalani. Bagi Yesus, yang terpenting adalah jiwa dari apa yang tertulis. Kita diajak untuk menyadari, bahwa paradigma balas-membalas dendam, tidak dapat menyelesaikan persoalan etis moral dengan memuaskan. Justru, paradigma ini akan menimbulkan persoalan baru.

Yesus hadir untuk menggenapi dan memperjelas pemahaman dasar yang benar, bagi orang-orang yang mau hidup dalam ketetapan Allah. Segala sesuatu harus dilakukan dengan tulus, ikhlas, dan bukan dengan keterpaksaan, apalagi melampiaskan pembalasan yang dibungkus dengan pemahaman agama. Bagi Yesus, siapa yang mengasihi Allah haruslah sanggup mengasihi sesama, sekalipun orang tersebut telah menyakiti, merugikan, atau menganiaya. Siapa yang sanggup untuk tidak menaruh dendam, tidak membenci, dan tidak membalas dengan melampiaskan dendam, itulah yang disebut sebagai orang sempurna. Setiap orang yang bersedia melakukan tindakan semacam itu, telah memenuhi kehendak Kristus: “. . . haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna” (Matius 5:48).  (SRS)