Sabegja-begjane wong kang lali, luwih begja kang eling lawan waspada. Peribahasa Budaya Jawa ini cukup terkenal dan ditulis oleh Ranggawarsita. Terjemahan bebasnya adalah seberuntung-beruntungnya orang yang lupa, lebih beruntung orang yang ingat dan waspada. Peribahasa ini ingin mengatakan kepada kita supaya kita jangan mengikuti arus duniawi yang tak lelah menggoda kita untuk hanyut di dalamnya. Jika ingin begja dalam arti menerima keselamatan kapan dan di mana pun, orang itu harus mempunyai pendirian yang tegas, ingat (eling) kepada Tuhan dan waspada terhadap segala kemungkinan munculnya potensi kejahatan, baik dari dalam (keinginan kita) atau pun godaan dari luar diri kita (Sudihardi, 2015).

Peribahasa di atas dapat kita mengerti dengan memberi contoh sebuah kisah berikut ini. Adalah seorang kasir di sebuah perusahaan yang telah dipercaya oleh pemiliknya untuk mengurus keuangan. Selama ini orang tersebut terkenal jujur, tertib, rapih, dan tepat waktu di dalam pekerjaannnya. Namun belakangan ini dia telah merusak nama dan prestasinya yang baik tersebut. Diam-diam ia menggunakan uang perusahaannya untuk membeli barang-barang keinginannya pribadi. Celakanya pada suatu hari perusahaan melakukan audit internal mendadak sehingga ketahuanlah kalau dirinya menggelapkan uang perusahaan untuk kepentingan pribadi sehingga mengakibatkan dirinya diberhentikan dengan tidak hormat dari perusahaannya tersebut (Sudihardi, 2015).

Bacaan hari ini memaparkan kisah perumpamaan Yesus yang mengajar tentang Kerajaan Allah yang sedang datang dengan judul perikop, “Gadis-gadis yang bijaksana dan gadis-gadis yang bodoh”. Perikop ini hendak mengisahkan mengenai kesepuluh gadis yang hendak menyongsong mempelai laki-laki yang hendak melakukan perjanjian perkawinan di rumah mempelai perempuan dan kembali ke rumah mempelai laki-laki untuk melakukan pesta perkawinan. Namun demikian pengiring (gadis-gadis) yang bodoh meyakini pengantin pria tidak akan datang pada waktu malam, sebaliknya pengiring (gadis-gadis) yang bijaksana meyakini ia akan datang sewaktu-waktu sehingga mereka tidak lupa untuk membawa minyak cadangan (Bergant dan Karris, 2002).

Perumpamaan ini hendak menyampaikan pesan supaya kita bijaksana untuk terus setia mengabdi dan memusatkan perhatian kepada tugas yang telah diterima dari Tuhan (Nielsen, 2009).  Perumpamaan ini menekankan bahwa kita sebagai umat percaya senantiasa memperhatikan keadaan rohani masing-masing. Oleh karena itu, dengan bertekun dan berjaga-jaga, kita terus merawat dan memelihara hubungan pribadi kita dengan Tuhan, sehingga kita akan siap menyongsong waktu Tuhan yaitu tiada seorang pun yang tahu. (PSP)