Banyak hal yang kita lakukan secara rutin lambat laun dapat berubah menjadi sebuah formalitas jika tidak dilakukan dengan motivasi yang tepat dan kesadaran akan makna dari setiap tindakan tersebut. Misalnya, ucapan syalom akhirnya menjadi sebuah sapaan kosong jika kita tidak sungguh-sungguh menghayatinya sebagai sebuah doa dan harapan akan damai sejahtera bagi orang lain, sementara kita hidup penuh pertikaian dan permusuhan. Doa sebelum makan hanya menjadi sebuah spontanitas singkat yang diucapkan jika tidak disertai dengan hati yang penuh syukur akan anugerah pemeliharaan Allah. Kehadiran kita dalam ibadah yang tidak didorong dengan hati yang merindukan persekutuan dengan Tuhan juga menjadi wujud formalitas hidup beragama. Kita rajin berdoa “berikanlah kami makanan yang secukupnya,”namun ternyata hidup penuh kerakusan dan korupsi. Tanpa sadar, cara berinteraksi dan berkomunikasi kita dengan Tuhan dan sesama sering bertentangan dengan apa yang selama ini kita pelajari dari firman Tuhan. Hal ini mungkin terjadi karena semua berjalan otomatis tanpa refleksi dan evaluasi diri.
Yesus menyadarkan para pengikut-Nya untuk tidak terjebak dalam formalitas hidup keagamaan tanpa makna. Kita tidak dapat memisahkan hidup kerohanian dari hidup keseharian. Justru dalam hidup keseharian, hidup kerohanian harus mekar dan berbuah. Perkataan dan tindakan secara individua maupun komunal tak boleh dipisahkan dari tanggung jawab kita mewujudkan firman Tuhan. Hal itu pun tidak harus dilakukan dengan program yang spektakuler, namun hendaknya mendarah daging dalam rutinitas sehari-hari. Contoh, semua orang tahu tentang pentingnya mengasihi Tuhan dan sesama. Yesus lalu mengingatkan lagi bahwa menghina dan melecehkan orang lain merupakan tindakan yang secara tidak langsung telah menghina dan melecehkan Allah yang telah menciptakan orang tersebut dengan sungguh amat baik. Hidup berdamai dengan Allah harus sejalan dengan hidup berdamai dengan sesama. Menjaga kesucian tubuh, demikian juga menjaga kesucian hati dan bibir, bukan untuk membuat kita hidup terasing dari orang lain, melainkan untuk menghadirkan kesucian, kebenaran, dan keadilan Allah secara nyata di tengah orang banyak (dunia).
Dari ajaran Yesus ini, kita diingatkan bahwa kesalehan hidup orang percaya bukanlah konten media sosial yang sengaja dibuat supaya ditonton dan disukai banyak orang, bahkan kadang direkayasa demi mendapatkan keuntungan darinya. Hidup keagamaan kita bukan hanya tentang apa yang sedap dipandang mata, melainkan juga apa yang dipahami, diimani, dan diaktualisasikan, meski tak selalu dilihat orang. Hidup keagamaan yang bukan sekadar formalitas itu membutuhkan integritas. Dan, yang lebih penting lagi, membutuhkan kesadaran bahwa segala yang kita lakukan adalah sebagai bukti cinta kepada Tuhan dan firman-Nya yang berbuah dalam relasi kita dengan sesama. (WBM)