Abram adalah orang yang menerima janji dari TUHAN. Isi janji TUHAN sangat jelas yaitu hendak “membuat engkau menjadi bangsa yang besar, dan memberkati engkau serta membuat namamu masyhur; dan engkau akan menjadi berkat” (Kej. 12:2). Tetapi TUHAN tidak segera memenuhinya dan tidak menunjukkan kapan Ia hendak memenuhinya. Abram harus menunggu tanpa mengetahui kapan TUHAN akan memenuhi janji-Nya. Selama menunggu, berulang kali ia menjadi ragu. Ia mempertanyakan janji itu dan kesungguhan TUHAN untuk memenuhinya. Walaupun demikian, TUHAN meneguhkan kembali janji yang telah diucapkan-Nya dan menyertai Abram dalam keraguannya.

Kita dapat melihat keraguan Abram dalam pasal 15:2-3. TUHAN berfirman, “Janganlah takut, Abram, Akulah perisaimu; upahmu akan sangat besar.” Abram menjawab: “Ya Tuhan ALLAH, apakah yang akan Engkau berikan kepadaku, karena aku akan meninggal dengan tidak mempunyai anak, dan yang akan mewarisi rumahku ialah Eliezer, orang Damsyik itu.” Lagi kata Abram: “Engkau tidak memberikan kepadaku keturunan, sehingga seorang hambaku nanti menjadi ahli warisku.” Dengan kalimat yang lebih sederhana, Abram seakan meragukan Tuhan: “Upah yang besar itu seperti apa sih? Sementara seorang anak yang menjadi ahli waris, aku tak punya.” Dalam keraguan Abram, TUHAN membawa Abram ke luar untuk melihat ke langit, menghitung bintang-bintang. TUHAN meneguhkan kembali janji yang telah diucapkan-Nya. Lalu percayalah Abram kepada TUHAN.

Janji TUHAN baru tergenapi ketika Ishak lahir (pasal 21). Itu berarti 25 tahun setelah Abram mengikut panggilan TUHAN. Selama itu, Abram tetap setia, percaya pada janji TUHAN, sekalipun pernah mengalami keraguan.

Perjalanan hidup Abram dapat kita jadikan cerminan hidup kita juga. Kita juga terus berjuang mengikuti panggilan Tuhan dalam hidup ini. Seringkali kita menjadi ragu, karena janji Tuhan tak kunjung menjadi kenyataan. Ketika kita ragu, tak melihat janji Tuhan segera menjadi kenyataan, ingatlah kisah ini:

Melihat kondisi Kalkuta yang saat itu masih dipenuhi dengan banyak orang miskin, seorang wartawan bertanya kepada Ibu Teresa. “Ibu Teresa telah sekian lama memperhatikan dan merawat orang miskin. Tetapi kenyataannya orang miskin tak kunjung habis dan tetap ada. Tidakkah Ibu merasa gagal dan kecewa? Dengan lembut Ibu Teresa menjawab, ”Aku tidak dipanggil untuk sukses. Tetapi aku dipanggil untuk setia.”

Kita semua dipanggil untuk setia, seperti Abram. Kita setia, sekalipun janji TUHAN belum jadi kenyataan. Kita setia, karena kita percaya pada Allah yang tak pernah ingkar janji! Amin. DWE