Nabi Yehezkiel diutus Allah di tengah kehidupan bangsa Israel di pembuangan Babel pada paruh pertama abad VI sM untuk menjadi seorang “penjaga” bagi bangsa itu. Apakah yang sebenarnya sedang terjadi? Di tanah asing itu bangsa Israel sedang berada dalam keadaan sulit dan berat. Kejayaan dan kebanggaan mereka sebagai umat pilihan Allah telah hancur porak-poranda. Dalam keadaan demikian, seharusnya mereka mengalami pergumulan batin yang mendalam, baik secara personal maupun komunal, tentang dosa mereka yang menyebabkan mereka menjadi bangsa terbuang. Namun, alih-alih bertobat, ada di antara mereka yang tetap berkeras hati dan tegar tengkuk untuk menyesali dosa mereka. Malahan ada yang bahkan menyalahkan Allah. Maka, sebagai “penjaga” yang diutus oleh Allah, Yehezkiel harus berperan sebagai seorang gembala bagi bangsa itu untuk memulihkan kasih dan kesetiaan umat itu kepada Allah dalam hidup pertobatan.

Bagi Yehezkiel tugas sebagai “penjaga” yang menggembalakan umat yang sedang desperado itu sungguh tidaklah mudah. Kepada Yehezkiel Allah mengatakan, “Yehezkiel, kamu harus menggembalakan umat-Ku itu dengan menegur mereka agar mereka bertobat! Jika kamu sudah menegur mereka tetapi mereka tidak bertobat, mereka sendirilah yang akan menanggung akibatnya. Namun, jika kamu tidak berani menegur mereka dan membiarkan mereka, mereka juga pasti akan memeroleh ganjarannya, tetapi kamu sebagai “penjaga” mereka tetap tidak akan dapat melepaskan diri dari kelalaianmu dan Aku akan menuntut pertanggungjawabanmu.” Mengapa Allah terkesan demikian keras kepada Yehezkiel? Karena, Allah adalah Allah Yang Hidup, yang menghendaki umat-Nya menjalani kehidupan yang benar di tengah situasi sulit dan berat. Yehezkiel diutus Allah untuk menjaga dan merawat kehidupan umat agar mereka tetap hidup benar di hadapan Allah. Itulah sebabnya dituntut komitmen tinggi dan tanggung jawab yang besar dari Yehezkiel. Sebagai gembala Yehezkiel mesti berani menegur umat yang bengkok hatinya, agar mereka bertobat betapa pun tugas itu tidak mudah untuk dilaksanakan.

Dalam konteks kehidupan yang samasekali berbeda dari situasi yang dihadapi Israel di pembuangan, kita semua pada masa kini dipanggil dan diutus oleh Allah untuk saling menjadi “penjaga” satu terhadap yang lain. Setiap orang percaya anggota umat milik Allah, termasuk GKI Kebayoran Baru, mesti berperan bak Yehezkiel kekinian. Mengapa? Karena, Allah kita adalah juga Allah Israel Yang Hidup, yang menghendaki seluruh umat mengalami hidup sejahtera di tengah situasi apa pun juga. Justru karena itu, Allah juga dengan keras menuntut komitmen dan tanggung jawab kita. Masing-masing dari kita mesti berani menegur saudara seiman dan sepersekutuan yang salah, yang hatinya bengkok dan hidupnya melenceng, agar dia bertobat dan mengalami kepulihan dalam kasih-setianya kepada Allah sendiri. Hal ini kita lakukan bukan karena kita lebih bersih dan suci, melainkan karena kasih dan kesetiaan kita kepada Allah yang memanggil kita dan yang menghendaki semua orang hidup dalam damai sejahtera. Beranikah Saudara? (LHP)