Seorang teman berceritera, bahwa ia memutuskan membantu banyak orang, semata karena telah merasakan belas kasihan Allah. Ia mendapati dirinya seringkali diselamatkan Allah, baik secara langsung maupun tidak. Pada tahun 1998, ia merasakan pertolongan Allah, saat tak satu pun peluru mengenai tubuhnya, sementara kumpulan massa di dekatnya banyak yang tertembak dan tewas. Pada akhir tahun 2017, setelah beberapa jam mengalami kecelakaan, ia ditolong oleh banyak orang. Ia mendapati bahwa kaki, tangan dan kepalanya tidak dapat digerakkan, kecuali lidah, mulut dan bibirnya. Ia masih dapat berteriak dan menelepon temannya untuk mendoakan dia, agar dia selamat. Singkatnya, ia sudah berada di rumah sakit dan memperoleh pertolongan secukupnya, sampai ia dapat kembali mengerakkan kaki, tangan dan kepalanya. Sekarang ia sembuh, selamat dan hidup. Ia berkata: “semuanya ini hanya karena kasih sayang Allah untuk saya.”

Sekalipun hidupnya tidak sempurna, ia memutuskan untuk berkarya bagi sesama karena telah diselamatkan Allah. Ia menolong yatim piatu, ia membantu setiap orang yang memesan ‘kendaraaan on line’nya’, khususnya profesi yang berhubungan dengan keagamaan, pendidikan dan kesehatan, dengan bayaran Rp.0,- alias gratis. Bagi dia, itu adalah kasih karunia Allah bagi hidupnya. Ia memercayai bahwa ia telah memperoleh keselamatan itu dari Allah di dalam Yesus Kristus dan itulah yang menggerakkannya.

Pastinya, tidak hanya dia yang merasakan kasih Allah dan yang telah menolong orang banyak, tanpa melihat agama dan sukunya. Namun kisahnya menjadi pengingat, apakah yang telah kita perbuat dalam hidup ini setelah kita menerima kasih karunia Allah. Paulus dalam 2Korintus 5:15, menyebutkan: ‘Kristus telah mati untuk semua orang, supaya mereka yang hidup, tidak lagi untuk dirinya sendiri, tetapi untuk Dia’. Hidup orang yang telah menerima kasih karunia Allah tidak hidup untuk dirinya sendiri. Jika kita telah menerima kasih karunia Allah, maka cara dan gaya hidup kita adalah bukan lagi untuk kita sendiri, tetapi untuk Allah dan sesama manusia.

Penggunaan kata ‘kasih karunia’ cenderung tertuju pada orang yang menerimanya. Jika itu kasih karunia Allah pada kita, maka kitalah sasaran dan tujuan kebaikan Allah secara utuh. Demikian juga dalam hidup bersama umat manusia, sasaran kasih karunia adalah sesama kita. Dalam pelayanan sasaran kasih karunia adalah orang-orang yang kita layani, bukan kita yang melayani. Kasih karunia dan melayani ini bagaikan tajamnya dua sisi pisau silet. Keduanya hanya tertuju pada orang lain, bukan diri sendiri.

Kasih karunia Allah dalam hidup kita akan menjadi sia-sia, jika atas nama pekerjaan dan pelayanan masih saja tertuju pada diri sendiri. Kasih karunia akan menjadi tak berguna, jika kita masih hidup hanya untuk memuaskan diri sendiri. Kasih karunia akan menjadi omong kosong, jika kita hanya mengukur setiap orang dengan ukuran kita sendiri. Kasih karunia akan menjadi gagal, jika kita masih tidak rela untuk berkorban bagi orang lain, masih tidak rela menderita, terluka dan tidak mengampuni. Kasih karunia akan menjadi sia-sia, jika kita hidup, bekerja dan melayani dengan sembarangan, tanpa peduli orang lain. Jangan sia-siakan kasih karunia Allah, dengan cara dan gaya hidup tanpa kasih karunia.

Ingat, bukan hanya kita saja yang membutuhkan kasih karunia, orang lain pun merindukannya melalui kita. Amin. TMP