Hari ini kita sudah memasuki Minggu Pra Paskah VI dengan merayakan Minggu Palma sekaligus juga Minggu Sengsara. Yesus dielu-elukan ketika memasuki kota Yerusalem dengan mendapat sambutan yang sangat semarak (Mat 21: 1-10). Namun demikian sambutan yang semarak tersebut seiring dengan berjalannya waktu bergeser menjadi cercaan, bahkan hinaan dan kecaman, “Ia harus disalibkan” (Mat 27: 22).

Perjalanan Karya dan Pelayanan Yesus memasuki detik-detik terakhir pada satu pekan mendatang dalam kalender liturgi kita. Dia pun mencurahkan perasaannya yang sangat sedih bahkan seperti mau mati rasanya (Mat 26: 38), dan memohon kepada Bapa-Nya supaya cawan tersebut lalu, namun bukan berdasarkan kehendak Dia, melainkan berdasarkan kehendak Bapa-Nya (Mat 26: 39). Alih-alih Allah Bapa mengabulkan permohonan Yesus, Yesus malah ditangkap, diadili, diperhadapkan kepada Pontius Pilatus, kemudian dijatuhi vonis hukuman mati dengan disalibkan. Hingga akhirnya Dia berseru, “Eli, Eli, lama sabakhtani? Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (Mat 27: 46).

Hukuman mati yang diterima Yesus, berupa peristiwa penyaliban-Nya, diawali dengan persidangan yang dilakukan di Mahkamah Agama yang dipimpin langsung oleh Kayafas, sang Imam Besar. Beberapa dakwaan dan tuduhan dilontarkan kepada Yesus, namun Dia pun tidak membela diri dengan tetap diam (Mat 26: 63), tidak memberi jawab apa pun (Mat 27: 12), tidak menjawab suatu kata pun (Mat 27: 14).

Yesus diam adalah tema kebaktian GKI Kebayoran Baru hari ini. Hal ini hendak menunjukkan kepada kita bahwa Yesus diam sebagai bentuk ketaatan-Nya kepada Bapa. Dia memilih jalan menolak kekerasan sebagai nilai yang harus kita teladani. Hal ini sudah Yesus praktikkan dengan menegur Petrus yang menetakkan (memutuskan) telinga Malkhus, hamba Imam Besar, dengan pedangnya (Yoh 18: 10), dan kemudian menjamah telinga orang itu dan menyembuhkannya (Luk 22: 51).

Tema Yesus Diam ini cukup relevan dengan situasi dan kondisi di Indonesia terkini, khususnya ibukota Jakarta. Kegaduhan demi kegaduhan terjadi karena menumpuknya pekerjaan kita; dan bagaimana kondisi dan peristiwa sosial mempertontonkan para penguasa sibuk berebut kuasa, materi, dan pemenuhan hasrat dengan cara-cara yang tidak elok. Yesus Diam menegaskan bahwa di dalam diam kita diajak belajar untuk mendengarkan “suara Tuhan” dan membiarkan diri dipimpin oleh kehendak-Nya. Kita membutuhkan saat diam untuk menjaga hati supaya peka terhadap suara kebenaran Roh Kudus yang terus berseru di tengah kehidupan yang gaduh ini. Kita perlu melatih diri untuk diam sebagai bentuk ketaatan dan dapat membantu kita untuk tetap jernih dan cepat tanggap terhadap situasi apa pun (Handoko 2016). Mari sediakan waktu untuk berdiam diri untuk mencari ketenangan yang sesungguhnya. Firman Tuhan meneguhkan kita semua, Amin. (PSP)