Hidup dalam damai sejahtera adalah impian dan kerinduan setiap orang. Kita sebagai anak-anak Tuhan dikehendaki untuk menghadirkannya di tengah kehidupan ini. Tuhan Yesus mengutus kita seperti anak domba ke tengah-tengah serigala. Jika kita membawa hal yang senada dengan sifat serigala, maka Kerajaan Allah yang penuh kasih itu tak akan pernah hadir di muka bumi. Itu sebabnya Tuhan Yesus menegaskan, bahwa  setiap karya menghadirkan Kerajaan Allah harus diawali dengan sapaan “damai sejahtera”. Digerakkan  oleh damai sejahtera surgawi, ditujukan bagi hadirnya damai sejahtera di bumi. Menghadirkan damai sejahtera bukan sesuatu yang mudah dilakukan, tetapi harus kita mulai, bukan dengan mengharapkan orang lain, sebaliknya dari diri kita sendiri. Mulai dari hal yang paling sederhana, setidaknya sapaan “damai sejahtera”.

Sapaan "damai sejahtera" berakar pada kata Ibrani "shalom". Menurut Strong's Exhaustive Concordance, shalom berarti "kelengkapan, kesehatan, kesejahteraan." Shalom berlaku untuk perdamaian eksternal antara dua entitas -seperti individu atau negara- dan rasa damai internal di dalam individu. Shalom mencakup berbagai arti: perdamaian di antara manusia atau bangsa-bangsa, perdamaian antara Tuhan dan manusia, kesejahteraan manusia, keselamatan, atau kondisi pikiran yang damai dan tenang. Pada dasarnya, ketika orang-orang saling menyapa dengan sapaan  "damai sejahtera",  sapaan itu mengandung arti: "Anda tidak perlu takut kepada saya sebab saya membawa damai sejahtera bagi Anda."

"Damai sejahtera" menjadi salam Kristen yang umum sejak awal era Perjanjian Baru. Rasul Paulus memulai sebagian besar suratnya dengan sapaan, “Kasih karunia dan damai sejahtera bagi kamu” dan biasanya ada tambahan “dari Allah Bapa dan Tuhan Yesus Kristus.”  Petrus, Yudas, dan penulis Wahyu juga memulai surat-surat mereka dengan salam damai. Damai sejahtera adalah anugerah Allah yang diberikan Bapa melalui Tuhan Yesus Kristus. Ketika kita mengatakan "damai sejahtera bagi kamu," kita mengatakan kata-kata yang sama yang dikatakan oleh Tuhan Yesus ketika Dia menyapa para murid-Nya setelah kebangkitan. Salam “damai sejahtera” menggerakkan kita melampaui persahabatan manusia biasa. Kita memberikan salam damai yang sama kepada mereka yang dekat dengan kita secara emosional dan relasional, maupun kepada mereka yang tidak dekat.

Sebelum kita datang ke meja perjamuan kudus, Tuhan menghendaki kita menawarkan salam damai kepada mereka yang mungkin memusuhi atau kita anggap sebagai musuh kita.  Ketika kita saling menyapa dalam damai sebelum kita menerima perjamuan kudus, kita memenuhi perintah Kristus. Kita merayakan perjamuan kudus setelah kita berdamai satu sama lain. Perjamuan kudus bukan hanya tanda damai antara Allah dan umat-Nya, tetapi juga tanda damai di antara umat Allah. Datang ke meja perjamuan tanpa mendamaikan diri atau berdamai dengan orang lain adalah sebuah kepura-puraan (baca: kemunafikan).

Kita dapat dan harus menawarkan kedamaian kepada orang lain, bukan berdasarkan pada emosi atau kasih sayang alami manusiawi kita, tetapi dengan iman bahwa Tuhan Yesus memang telah menciptakan kedamaian bagi kita dan di antara kita. Saling menyapa dalam damai sejahtera adalah tindakan iman, dan itu harus mendorong kita untuk membuat perdamaian serta damai sejahtera menjadi lebih nyata di antara kita.

Salam damai atau sapaan “damai sejahtera”,  bukan hanya salam yang kita bagikan sebelum kita datang ke meja perjamuan kudus. “Damai sejahtera bagi kamu” adalah berkat yang kita ucapkan dalam nama dan kuasa Yesus Kristus yang bangkit dari kematian. Sapaan “damai sejahtera” adalah berkat imamat yang kita tawarkan satu sama lain, sebab saat kita mengucapkannya, sebenarnya kita sedang saling mendoakan agar sesama kita merasakan damai sejahtera. Kita meminta Tuhan untuk memberikan damai sejahtera dengan segala kepenuhannya, kepada saudara-saudari yang kita sapa.

Selamat membagikan damai sejahtera. (JWP)