Allah di dalam Kristus datang ke dunia untuk membawa keselamatan bagi dunia. Dalam konteks keyahudian pada masa itu, tidak semua orang dapat menerima dan bersedia percaya pada apa yang dilakukan oleh Kristus. Yang terjadi adalah salah mengerti atau beda persepsi, bahkan penolakan dari sebagian orang Yahudi (ayat 16-19). Itu sebabnya, ketika “orang bijak dan orang pandai” (baca: para pemimpin agama Yahudi yang bersikap ketat-kaku dalam keagamaan) mengambil sikap berseberangan dengan Yesus sedangkan “orang kecil” (baca: orang kebanyakan yang bersahaja) justru dapat memahami misi Yesus, Ia bersyukur kepada Bapa-Nya di surga (ayat 25).

 Dengan demikian, yang dipertaruhkan oleh Kristus adalah bagaimana supaya kedatangan-Nya dapat semakin meluas diterima oleh orang banyak. Karena itu, Ia mengundang mereka untuk datang kepada-Nya, “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberikan kelegaan kepadamu”. Yesus menyadari bahwa bagi orang kebanyakan, peraturan keagamaan kaku-ketat yang diberlakukan oleh para pemimpin agama Yahudi telah menjadi penghalang untuk berelasi dan berkomunikasi langsung dengan Allah (bd. 23:4). Hal itu menjadi “beban berat” yang menyebabkan mereka “letih lesu”. Kepada merekalah Yesus lalu menjanjikan “kelegaan”. Yang dimaksudkan dengan kelegaan di sini tidak lain adalah kehidupan damai-sejahtera, kehidupan dalam keselamatan, melalui diri-Nya.

 Namun, tidak berarti bahwa kehidupan bersama dengan Kristus –yaitu jika mereka menerima panggilan Kristus– merupakan kehidupan yang enteng dan mudah. Mereka diminta untuk bersikap sebagai murid-Nya yang mau belajar terus-menerus pada Dia. Belajar tentang apa? Mereka mesti belajar pada Yesus tentang kehidupan yang sesungguhnya, yaitu kehidupan yang dibebaskan dari bungkus keagamaan kaku-ketat dan artifisial yang malahan menjauhkan mereka dari Allah.

 Kehidupan yang mesti dipelajari pada Yesus adalah kehidupan dengan memikul kuk yang dipasang oleh Yesus sendiri. Kuk yang dipasang oleh Yesus, “kuk Yesus”, bukan kuk dalam bentuk hukum keagamaan yang membebani dan bahkan memperbudak. Kuk Yesus itu secara figuratif menunjuk pada kehendak Allah. Kehendak Allah itulah yang mesti dipelajari oleh para murid pada Yesus dan mereka wujudkan dalam kehidupan mereka. Itulah sebabnya, Yesus dapat berujar, “Kuk yang kupasang itu enak dan beban-Ku pun ringan”.

 Sekarang ini pun, Kristus menginginkan Saudara sungguh-sungguh bersikap sebagai murid-Nya yang bersedia terus-menerus belajar pada Dia. Belajar mengenai apa? Kristus menginginkan Saudara belajar mengenai kehendak Allah yang mesti Saudara wujudkan dalam kehidupan sehari-hari! Saudara giat dan rajin ke gereja (untuk beribadat dan melakukan berbagai pelayanan gerejawi). Namun, jika Saudara tidak belajar pada Kristus tentang relasi yang sesungguhnya dengan Allah dan tentang apa kehendak-Nya yang mesti Saudara ikuti, semua itu menjadi percuma. Sebab, kehidupan “keagamaan” seperti itu bisa artifisial dan miskin-makna spiritual. Yang harus Saudara lakukan di tengah kehidupan keagamaan seperti itu adalah memikul kuk Yesus. Jika Saudara memikul kuk Yesus, peribadatan dan pelayanan Saudara dalam berbagai bentuknya itu akan menjadi berisi dan bermakna, karena semuanya Saudara lakukan dalam rangka mewujudkan kehendak Allah dalam kehidupan Saudara. Sebagai murid Kristus yang setia, jadilah seperti “orang kecil” yang bersedia belajar terus-menerus pada Dia dan memikul kuk yang dipasang-Nya! Kuk Yesus itu membebaskan serta membuat Saudara lega dan bersukacita! (LHP)

EG