Suami bisa berkata aku mencintaimu pada istrinya, tapi tanpa kerelaan untuk mengantar berbelanja, kata-kata itu tak ada artinya. Seorang istri bisa berkata aku mencintaimu pada suaminya, tapi tanpa kesetiaan merawat suami ketika sakit tak berdaya, kata-kata itu tak berarti apa-apa. Seorang anak bisa berkata aku mencintaimu pada orangtuanya, tapi tanpa kesediaan mencuci piring-piring kotor, kata-kata itu belum terbukti sepenuhnya. Orangtua bisa berkata aku mencintaimu pada anaknya, tapi tanpa menyediakan waktu untuk mendengar cerita anaknya, kata-kata itu jadi percuma. Seorang warga negara bisa berkata mencintai negerinya, tapi tanpa melakukan tanggung jawab sebagai warga negara yang baik, kata-kata itu jadi semboyan belaka. Seorang pejabat publik dapat berkata mencintai warganya, tapi tanpa memperjuangkan hak-hak masyarakat, kata-kata itu hanya isapan jempol semata. Maka benarlah ungkapan “Love is a verb” yang artinya cinta adalah kata kerja. Ungkapan ini hendak mengatakan bahwa cinta sejatinya bersifat aktif bukan pasif. Dengan kata lain, kita dapat melihat cinta seseorang dari tindakannya.

Hal yang senada ditegaskan oleh Musa ketika ia menyampaikan perintah Allah pada bangsa Israel sebelum mereka masuk ke tanah perjanjian. Ayat 5 menjadi terang dan jelas dalam terjemahan Alkitab Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS):  Cintailah TUHAN Allahmu dengan sepenuh hatimu: Tunjukkanlah itu dalam cara hidupmu dan dalam perbuatanmu. Dengan demikian, cara hidup dan perbuatan kita menjadi bukti cinta kita pada Tuhan. Selanjutnya, ayat 6-9 hendak menegaskan bahwa keseluruhan hidup menjadi wahana bagi kita menyatakan cinta kita pada Tuhan, di mana pun (di rumah dan di perjalanan) dan kapan pun (waktu berbaring dan bangun). Dan benarlah bahwa mencintai Tuhan perlu dengan segenap kekuatan. Karena untuk menyatakan cinta pada Tuhan di mana pun dan kapan pun, butuh perjuangan.

Kita bisa berkata mencintai Tuhan, tapi jika cara hidup kita tak menunjukkan bahwa kita umat Tuhan, maka kata-kata itu hanya selubung rohani saja. Hal ini mengingatkan kita pada ungkapan lain yang berkata: “Kalau jadi religius membuatmu mudah menghakimi dan berlaku kasar pada orang lain, periksalah! Kamu menyembah Tuhan atau egomu?” (DWE)