Kekayaan, pendidikan, kedudukan, kerberhasilan dan kesalehan adalah bagian hidup yang sering menjadi ukuran status seseorang. Dengan kategori tersebut, status pada diri seseorang, dikategorikan sebagai orang terhormat. Oleh karena itu bagi mereka yang belum meraihnya, berbagai upaya diusahakan agar cita-cita yang diimpikan terwujud. Tentu tidak salah jika seorang yang ingin berhasil berusaha mendapatkannya. Permasalahannya, apakah menjadi orang terhormat harus memiliki kekayaan harta, pendidikan tinggi, kedudukan dalam jabatan tertentu dan berhasil dalam usahanya, serta nampak saleh? Secara umum memang demikian, karena itu manusiawi.

Melalui bacaan Matius 23:1-12, kita diingatkan untuk bertindak dengan bijak. Ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi adalah kelompok masyarakat terhormat dalam kehidupan masyarakat Yahudi. Mereka selalu memposisikan diri sebagai yang utama di tengah tatanan hidup, karena mereka pengawal hukum dan aturan. Mereka selalu berbicara dengan keras dan tegas berhubungan dengan peraturan Musa. Mereka pula yang menjatuhkan sangsi dan hukuman kepada setiap orang yang dianggap melanggar. Tindakan itu dilakukan karena mereka menduduki kursi Musa yang tidak lain memposisikan diri dengan kewibawaan dan kehormatan sebagai pengawas. Bagi Yesus, selama para ahli Taurat dan orang Farisi mengajarkan penghormatan kepada Allah dan penghargaan kepada manusia, ajaran mereka sungguh mengikat secara kekal dan berlaku dengan baik. Namun bagaimanakah dengan kehidupan mereka yang sebenarnya? Ternyata mereka menunjukkan citra diri (jaim/ jaga image) sebagai orang-orang yang baik dan patuh pada aturan namun tidak menjadi pelaku aturan yang sebenarnya. 

Kalaupun mereka menjalankan peraturan agama, ternyata hanya sebagai rutinitas, kebiasaan, supaya orang tahu, mencari nama dan popularitas. Mereka melakukan kehidupan agama bukan didasarkan pada panggilan dan ketulusan hati untuk memuji dan memuliakan Tuhan, namun lebih berpusat pada diri mereka sendiri.

Manusia boleh melakukan apapun dengan segala cara, namun Tuhanlah yang berhak menilai hidup kita. Apakah sebagai orang yang telah diselamatkan Kristus, kita sudah hidup seperti yang dinginkan oleh-Nya? Apa pun keberadaan kita, sesungguhnya Tuhan menilai hidup kita dari ketulusan, kejujuran, kesetiaan yang dilakukan, bukan karena keterpaksaan. Kita mau melakukan semuanya dalam ketaatan di bawah takut akan Tuhan dalam rangka mengucap syukur, bukan supaya diketahui orang dan ditinggikan. Tuhanlah yang berhak menilai kita. Oleh karena itu lakukanlah apa yang menjadi keinginan Tuhan. Amin. (SRS)