Seruan “haleluya!” (“terpujilah Tuhan!”) sudah menjadi bagian dari kehidupan kita. Persoalannya bukan seberapa sering, kapan, dan di mana kita menyerukannya. Yang penting dan mendasar adalah seberapa berkualitasnya seruan haleluya kita itu.

Mazmur 111 menyatakan bahwa orang-orang beriman mesti menyerukan haleluya dengan “segenap hati” (ayat 1) sehingga seruan haleluya itu menjadi “puji-pujian kepada Allah [yang] tetap untuk selama-lamanya” (ayat 10^c). Inilah ukuran mutu haleluya yang sesungguhnya, yang jika tidak dipenuhi akan membuat seruan haleluya kita kosong dan tanpa makna. Tetapi, siapakah yang dapat berseru haleluya seperti itu? Mazmur 111 menegaskan, orang-orang berhikmatlah yang dapat menyerukannya (ayat 10^a)!

Pada umumnya orang memahami hikmat (wisdom) kira-kira sebagai kemampuan untuk melihat dan menilai sesuatu atau seseorang dengan ukuran baik atau benar. Hikmat seperti itu biasanya diyakini dapat digali, diperoleh, dan dilatih berdasarkan, misalnya, kekayaan nilai-nilai kehidupan yang diteruskan melalui pengajaran para bijaksana dan dari berbagai warisan budaya keluarga dan budaya lokal. Tetapi, apakah yang dimaksudkan dengan hikmat atau hidup berhikmat itu menurut Mazmur 111?

Mazmur 111 menyatakan bahwa hikmat atau hidup berhikmat itu dimulai dari dan berlandaskan pada sikap takut akan Tuhan (ayat 10^a). Kita harus memahaminya dalam kerangka Mazmur 111 sebagai mazmur pujian. Perhatikan, mazmur ini dimulai dengan seruan “haleluya!”. Siapakah Allah yang dipuji? Melalui pengalaman iman bersama dengan Allah, orang-orang percaya memuji Allah yang “besar, agung, bersemarak, adil, ajaib, kuat, dan benar perbuatan-Nya” (ayat 2-4, 6-7) serta yang “nama-Nya kudus dan dahsyat” (ayat 9). Semua atribut itu menyatakan tentang kemahakuasaan dan kedaulatan Tuhan. Maka, takut akan Tuhan adalah sikap percaya, takjub, dan menerima kemahakuasaan dan kedaulatan Tuhan itu, yang lalu diungkapkan dalam pujian mereka kepada-Nya. Tetapi, ternyata Mazmur 111 tidak berhenti di sini. Mazmur ini melanjutkan, bahwa “semua orang yang melakukannya berakal budi yang baik (baca: berhikmat)” (ayat 10^b). Melakukan apa? Yaitu, melakukan “titah dan perintah Allah” (ayat 7, 9) sebagai respons mereka kepada Allah yang telah melakukan perbuatan-perbuatan-Nya yang dahsyat itu! Ketaatan mereka untuk melaksanakan titah dan perintah Allah itu yang harus diungkapkan dan diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari orang percaya, sehingga pujian mereka kepada Allah benar-benar nyata dan dapat dilihat oleh orang banyak (ayat 1^b).

Jadi, kita hidup berhikmat ketika kita percaya, takjub, dan menerima kedahsyatan perbuatan-perbuatan Allah dan sekaligus taat serta setia melaksanakan kehendak-Nya secara nyata dalam kehidupan sehari-hari kita. Hanya jika kita telah berhikmat seperti ini seruan haleluya kita menjadi pujian kepada Allah yang berisi dan bermakna! Inilah yang menentukan kualitas seruan haleluya kita. Apakah kita telah melakukannya? (LHP)