­

SECERCAH PERJUMPAAN INJIL DAN BUDAYA (WARGA TIONGHOA) DI JAWA TENGAH


 

Saat VOC hadir di Nusantara dan disusul oleh badan-badan Zending, orang-orang pribumi pada waktu itu masih banyak yang menganut agama sukunya masing-masing, selain dari agama Hindu, Budha, Islam yang telah masuk sebelumnya. Orang-orang pendatang  biasanya memeluk agama warisan tanah leluhurnya, khususnya  orang-orang Tionghoa, baik yang disebut kiauwseng (totok, yang langsung datang dari Tiongkok) ataupun hoakiauw (peranakan, yang lahir di Nusantara), yang kebanyakan masih menganut aliran confusianisme.

Pada saat berkuasa, VOC memberikan kesempatan yang besar bagi badan zending untuk melakukan misi penginjilannya di berbagai wilayah Indonesia, termasuk di tanah Jawa, khususnya Jawa Tengah. Salah satu Zending yang melayani di Jawa adalah Zending ZGK, yang memberikan perhatian besar kepada orang-orang pribumi, termasuk orang Tionghoa yang ada di sana.

Selain oleh badan Zending, pekabaran injil di Jateng juga tidak bisa dilepaskan dari usaha perintisan pekabaran Injil (PI) yang dilakukan oleh Orang Thionghoa itu sendiri. Dua nama yang penting dicatat di sini adalah Gan Kwee dan Khouw Tek San. Mereka begitu giat dan bersemangat dalam mengabarkan injil kepada orang-orang Tionghoa di Batavia dan di Jawa tengah. Jadi, dengan keterangan ini, nampak bahwa perintisan PI di kalangan orang-orang Tionghoa di Jawa Tengah justru dilakukan oleh orang Tionghoa sendiri.

Pekabaran Injil di Jawa Tengah terbagi atas dua  wilayah, yaitu Pekabaran Injil di Jateng-selatan dan di Jateng-Utara. Pekabaran Injil di Jateng-selatan dilakukan oleh badan Zending ZGK yang melakukan misinya kepada orang-orang Jawa dan Tionghoa. Salah satu kebijakan yang dianut oleh ZGK adalah menolak pemisahan orang-orang Kristen atas dasar ras. Oleh sebab itu, ZGK tidak mau mendirikan jemaat-jemaat tersendiri bagi orang-orang Tionghoa. Uniknnya, pekabaran Injil tersebut kemudian menghasilkan terbentuknya jemaat-jemaat Kristen Tionghoa, misalnya jemaat THKTKH (Tiong Hoa Kie Tok Kauw Hwee) di Sangkrah Surakarta (1933), Magelang (1933), dan Yogyakarta (1934).  Jemaat-jemaat ini membentuk THKTKH-Khoe Hwee Djawa Tengah  Selatan (THKTKH-KHDTS). Di kemudian hari, jemaat Kwitang, sebagai  buah karya pendeta dari Christelijk Gereformeerde Kerk, sejak tahun 1873  pun menggabungkan diri dengan THKTKH-KHDTS ini (sering juga disebut THKTKH Klasis  Djogdja).

Sementara itu, di  bagian utara Jawa Tengah, Zending  SZ melakukan misi  yang  awalnya fokus untuk bekerja di antara orang-orang pribumi (baca: Jawa). Akan tetapi, di  Semarang terdapat orang-orang pribumi lainnya, seperti orang Manado, Ambon, dan  Timor, yang berbahasa Melayu. Kepada mereka ini juga diadakan kebaktian dalam bahasa Melayu yang dipimpin oleh Liem Siok Hie, yang berasal dari Salatiga dan pada tahun 1920 menjadi penatua-pengajar di Jemaat Zending  berbahasa Melayu di Mlaten (Semarang). Hal serupa juga terjadi di beberapa tempat, sehingga pada tahun 1936 terdapat tiga jemaat THKTKH, yaitu jemaat di Semarang, Salatiga, dan Blora. Ketiganya  membentuk  THKTKH-Khoe Hwee Djawa Tengah  Utara (THKTKH –KHDTU).

 

TERBENTUKNYA  THKTKH –THAY HWEE DJAWA TENGAH

Seperti nampak dari uraian-uraian sebelumnya, pada tahun 1936 terdapat  dua Gereja Tionghoa di Jawa Tengah yang berstatus sebagai klasis, yaitu THKTKH-KHDTS dan THKTKH-KHDTU.  Lalu, pada tahun 1945 dilakukan penggabungan THKTKH-KHDTS dengan THKTKH-KHDTU di Magelang menjadi THKTKH-Thay Hwee Djawa Tengah  atau THKTKH Djawa Tengah dengan status sinode. Penggabungan tersebut  dilakukan atas dasar pertimbangan teologis, politis, dan etnis.  Pertimbangan teologis THKTKH-Thay Hwee Djawa,  yang dicita-citakan pembentukannya oleh pertemuan Purworejo tahun 1937, sampai dengan 8 Agustus 1945 belum menjadi kenyataan. Di samping itu, latarbelakang teologis maupun latar belakang pengerjanya tidak banyak berbeda di antara kedua klasis itu. Pertimbangan politis, pada waktu itu proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia  akan segera dinyatakan oleh para pemimpin bangsa Indonesia, sebagai  wujud penyatuan dan pemandirian segala unsur-unsur bangsa. Pertimbangan etnis,  karena di antara keduanya terdapat rasa persatuan yang  bersumber pada kesamaan etnis.

 

PERGUMULAN  THKTKH-THAY HWEE DJAWA  TENGAH

Setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, Gereja-gereja (Protestan) Tionghoa di Jawa  yaitu THKTKH Djawa Barat, THKTKH Djawa Tengah, dan THKTKH Djawa Timur, membentuk wadah keesaan, dengan tetap  menjadi bagian dalam DGI. Wadah keesaan yang baru dimaksud adalah Badan Permusjawaratan Persatuan Geredjani (BPPG).  BPPG  mempunyai  tujuan yang lebih praktis, supaya melalui badan ini semakin nampaklah  keesaan di antara Gereja-gereja anggotanya . Hal itu  menjadi jelas dari program-program yang digariskannya dalam hal liturgi, pengajaran teologi, dan sejarah gereja.

Pada waktu sedang giat-giatnya melaksanakan berbagai program yang telah digariskannya itu, BPPG juga diperhadapkan pada persoalan yang sedang berkembang  di tengah  kehidupan bangsa Indonesia, yaitu persoalan yang berkaitan dengan “masalah Tionghoa”, yang  muncul sebagai akibat dari hasil Konferensi Meja Bundar antara Pemerintah Kerajaan Belanda dengan  Pemerintah Republik Indonesia (1949) dan akibat dari isi Perjanjian Pemerintah Republik Indonesia  dengan Pemerintah  Republik Rakyat Tiongkok  (1955). Berkenaan dengan  “masalah Tionghoa” tersebut,  maka  BPPG   menggumulkan persoalan: apakah nama Tionghoa dari ketiga Gereja anggota BPPG masih dapat dipertahankan. Kedua kesepakatan di atas telah membawa Gereja-gereja anggota BPPG  untuk merumuskan ulang jatidirinya di bumi Nusantara. Itu berarti bahwa mereka  juga perlu merumuskan misinya di tengah kehidupan bangsa Indonesia. 

Dalam upaya itu, mereka  menemukan kenyataan bahwa hampir seluruh Gereja anggota BPPG adalah warga negara Indonesia dan yang berbahasa Indonesia. Bertolak dari kedua kenyataan itu, mereka menyadari bahwa mereka tidak hanya terbuka bagi satu golongan etnis saja, melainkan bagi segala golongan etnis yang ada di Indonesia. Dengan demikian, mereka telah menyadari jatidiri dan misinya secara baru: bukan lagi dalam konteks  ke-Tionghoa-an, melainkan dalam konteks ke-Indonesia-an. Selaras dengan kenyataan yang ada ini, maka BPPG mulai  menggumulkan perubahan nama Tionghoa THKTKH  menjadi nama Indonesia: Geredja  Kristen Indonesia (GKI). Sejak itu, Gereja ini  menghayati jatidirinya secara baru, dalam konteks ke-Indonesia-annya. Itu juga berarti bahwa ia juga  menghayati misinya secara baru. Salah satu hal yang penting dicatat dalam perjalan sejarah GKI Jateng adalah proses “penemuan diri” sebagai gereja Indonesia. Tidak lagi menjadi gereja orang-orang Belanda dan orang-orang Tionghoa, melainkan gereja yang memang lahir di bumi Indonesia, gereja yang dibangun oleh orang Indonesia, dan gereja bernaung dalam satu rumah "Indonesia,” rumah yang dihuni oleh masyarakat yang beragam etnis dan budayanya. (RP)

Daftar Website

http://sinodegki.org/tentang-kami/sejarah/

http://www.gkiswjateng.org/sinodes