SECERCAH PERJUMPAAN INJIL DAN BUDAYA DI TANA TORAJA


 

Tana Toraja terletak di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan dan dihuni oleh sekelompok masyarakat yang sangat terkenal dengan ritual pemakaman, rumah Tongkonan (Toraja, Tongkon = duduk, Tongkonan = persekutuan), dan ukiran kayunya yang khas. Masyarakat dan budaya Toraja, secara antropologi, diperkirakan berasal dari keturunan sekolompok orang berbahasa Austronesia di wilayah pesisir yang migrasi ke dataran tinggi. Istilah Toraja awalnya berasal dari sebutan yang disandangkan oleh orang-orang Bugis di daerah pesisir (dataran rendah). Toraja berarti orang yang tinggal di negeri atas (dataran tinggi/pegunungan). Istilah ini sekarang lebih mengarah pada wilayah geografis dan orang-orang yang tinggal atau berasal dari kabupaten Tana Toraja.

Selain agama Kristen dan agama Islam, ada juga masyarakat yang masih memeluk agama tradisional yang disebut Aluk Todolo (agama/cara hidup/aturan hidup nenek moyang/para leluhur) yang menjadi dasar kehidupan masyarakat asli sejak suku ini ada. Namun, dalam perjumpaan dengan budaya kolonial, terjadi proses akulturasi yang sangat besar dan menghasilkan nilai-nilai baru dalam kehidupan masyarakat setempat.

Pekabaran Injil di Tana Toraja dimulai dengan masuknya Indische Kerk (Gereja Protestan) pada tahun 1912 di daerah Makale melalui jalur pendidikan. Pada Tahun 1913, tercatat ada 23 orang murid sekolah yang dibaptis. Misionaris A. A. Van de Loosdrecht tiba di Toraja pada tahun yang sama. Wilayah pelayanan pun diperluas meliputi Rantepao, Palopo, dan Mamuju. Pendekatan yang dilakukan oleh Loosdrecht lebih banyak menyentuh kalangan atas dalam masyarakat asli Toraja. Kegiatan pekabaran Injil ini kemudian diambil alih oleh Gereformeerde Zendingsbond (GZB) pada tahun 1915. GZB kemudian menambah tenaga zendeling (misionaris) di sana supaya setiap tempat dapat dilayani dengan baik. Proses memperkenalkan Injil dengan berbagai pendekatan yang dilakukan oleh para zendeling bukanlah hal yang mudah, karena mereka berhadapan dengan budaya asli yang sangat keras. Pengalaman para zendeling di Toraja mengingatkan bahwa pengenalan dan pemahaman yang mendalam tentang tempat pelayanan merupakan syarat yang perlu dipenuhi oleh seorang misionaris. Tidak mengherankan jika ada misionaris yang akhirnya dibunuh ketika metode pekabaran Injil yang dilakukannya bertentangan keras dengan adat setempat.

Dalam aroma politik, pemerintah kolonial mendorong gereja untuk membaptis sebanyak mungkin orang di Sulawesi Tengah. Namun, badan zending (badan misi) melihatnya dari sudut pandang yang berbeda: bukan supaya umat takluk pada kekuasaan negara, melainkan supaya umat hidup di bawah kuasa Kristus. Gereja Toraja Rantepao (1947) dan Gereja Toraja Mamasa (1948) berdiri sebagai sinode-sinode mandiri, sambil tetap didukung oleh GZB sampai tahun 1961 dengan menerapkan model presbiterial dalam pelayanannya. Para pendeta orang pribumi pun ditahbiskan untuk menunjang pekerjaan gereja, terutama pada masa penjajahan Jepang.

Salah satu perubahan besar dan mendasar yang dibawa oleh badan zending adalah proklamasi kesamaan derajat semua orang dan tidak mempannya pemali dalam aluk. Pernyataan persamaan derajat dan hak di dalam Kristus ini berdampak dalam kehidupan sosial. Masyarakat asli Toraja mengenal adanya hierarki atau kasta dalam struktur kemasyarakatan. Ini tidak mungkin dirubah dalam adat, selain keluar dan menganut sistem ajaran yang baru diperkenalkan. Terjadi pembedaan sikap yang jelas antara pemeluk agama Kristen dan penganut Aluk Todolo. Akan tetapi, kedua kelompok tersebut, dalam cara pandang dan tindakannya masing-masing, tetap berupaya melakukan pemeliharaan serta pengembangan budaya Toraja. Pada tahun 1923 dan 1929, diadakan rapat besar yang berhasil menetapkan peraturan adat Kristen, yang berasaskan “kebebasan seorang Kristen”, selama itu tidak bertentangan dengan teologi Kristen.

Para misionaris terus memperkuat jalur pendidikan sebagai upaya memperluas cakrawala kehidupan dan meningkatkan harga diri masyarakat. Pendidikan yang digerakkan oleh badan zending telah memotivasi orang-orang Toraja untuk mendirikan sekolah dan yayasan pendidikan baru yang menjangkau masyarakat kelas atas dan bawah, sebagai wujud cahaya pengharapan menuju sebuah kemajuan: kesetaraan dengan orang Indonesia lainnya. Proses pendidikan yang dikembangkan oleh para misionaris di masa lalu ini telah membuahkan kehadiran begitu banyak orang Toraja dengan profesi dan jabatan yang luar biasa di Indonesia pada masa kini.

Gereja Toraja kini telah berkembang pesat sambil terus bergumul untuk memberikan pandangan kristiani yang lebih mendalam bagi umat di tengah meriahnya perayaan tradisi warisan para leluhur. Bukan sekadar untuk menerima atau menolak tradisi yang ada, melainkan untuk kritis dalam melakukan pemaknaan yang tepat sesuai terang Injil, demi kehidupan, kedamaian, kesejahteraan. Dan, umat Kristen Toraja yang tersebar dari puncak gunung Sesean sampai ke berbagai pelosok daerah di Indonesia ini pun tetap bersyukur karena Tuhan sungguh memperhatikan dan memelihara kehidupan mereka. (WBM)

(Sumber utama: Injil dan Tongkonan [Th. Kobong], Ragi Carita 2 [Th. van den End & J. Weitjens], dan beberapa situs internet)