SECERCAH PERJUMPAAN INJIL DAN BUDAYA DI KOTA PADANG
Kota Padang sebagai ibukota propinsi Sumatera Barat merupakan kota terbesar di pantai barat pulau Sumatera. Kota ini menjadi kawasan rantau (tempat orang merantau dari Dataran Tinggi Minangkabau) dan sekaligus menjadi kota pelabuhan serta pusat perdagangan sejak zaman VOC. Kota Padang silih berganti dikuasai oleh orang Inggris, Belanda, Perancis, dan Jepang, dimulai sejak tahun 1649. Nama kota ini pun seringkali diasosiasikan sebagai istilah yang mewakili etnis Minangkabau (sebutan: orang Padang) dan makanan tradisionalnya (nasi padang). Padahal, kota metropolitan di pesisir barat Sumatera ini sejak zaman kolonial telah menjadi tempat pertemuan para pendatang dari berbagai suku lain di Indonesia (Jawa, Nias, Tionghoa, Mentawai, Batak, Aceh, Madura, Ambon, Bugis, dll.). Sebagian besar dari orang-orang ini dikirim oleh pemerintah Belanda dari berbagai daerah untuk menjadi buruh, pegawai, tentara, dsb. Selain itu, suku Tamil (India) pun ada di sana. Kota yang awalnya hanya merupakan kota nelayan ini bertumbuh menjadi kota administratif dan akhirnya menjadi pusat pemerintahan.
Padang, sebagai salah satu bagian tanah Minang, juga terkenal dengan bangunannya yang khas, yang dikenal dengan nama Rumah Gadang. Akan tetapi, arsitektur bangunan secara keseluruhan di kota ini sudah mengalami perkembangan dan perubahan sebagai dampak dari perjumpaan dengan budaya Eropa, walaupun sedapat mungkin struktur tradisional masih terus dilestarikan (terutama atap gonjong). Rumah Gadang menjadi simbol kekerabatan dan pemerintahan. Dalam rumah ini, sistem dan norma kehidupan diterapkan, musyarawah dan disiplin diberlakukan. Masyarakat Minangkabau bertumbuh dalam sistem matrelineal (garis ibu), namun tidak dapat dilepaskan juga dari pola kepemimpinan para datuk yang umumnya dipegang oleh kaum laki-laki. Ada beberapa agama yang masuk dan bertumbuh di kota ini, antara lain agama Islam (jumlah pemeluk terbesar), Kristen (Katolik dan Protestan), Budha, dan Konghucu (tiga terakhir rata-rata dianut oleh para pendatang). Jadi, tidak mengherankan jika gereja dan klenteng pun dapat dijumpai di beberapa sudut kota ini.
Agama Kristen di Sumatera umumnya masuk melalui kegiatan perdagangan dan pendidikan. Seorang Pastor Katolik, telah menetap di Padang dan mengajarkan Injil sejak tahun 1837 (khususnya kepada orang Eropa dan pendatang). Akan tetapi, Gereja Katolik tertua di sana baru berdiri pada tahun 1933. Agama Kristen Protestan yang bertumbuh di kota Padang pun tidak dapat dilepaskan dari proses penginjilan Sumatera secara keseluruhan. Pada tahun 1854, pemerintah Belanda mengeluarkan keputusan yang berkaitan dengan wilayah pekabaran Injil. Kristen Protestan yang dibawa oleh Belanda dan Jerman lebih banyak diperkenalkan di daerah Tapanuli dan Nias. Namun, di kemudian hari, keputusan tersebut dicabut secara bertahap pada wilayah yang berbeda-beda. Pada tahun 1856, G. van Asselt, misionaris Protestan dari Belanda, tiba di Padang dan kemudian dipekerjakan oleh gubernur Sumatera Barat pada perkebunan kopi di Angkola.
Tentu saja, proses memperkenalkan Injil bukanlah hal yang mudah, karena harus berhadapan dengan hukum adat dan agama lain yang ada di sana. Namun, tidak ada yang mustahil dalam karya Roh Kudus. Selain kehadiran gereja yang terdiri atas para pendatang, sekelompok kecil masyarakat asli pun mulai percaya kepada Kristus dan memberi diri untuk dibaptis. Kelompok orang percaya yang masih baru ini menghadapi penolakan luar biasa dari keluarga dan lingkungannya. Akan tetapi, mereka tetap teguh beriman dalam kesesakan. Gereja pun terus bertumbuh. Beberapa gereja Protestan yang saat ini melayani di kota Padang adalah HKBP, BNKP, GPIB, GBI, GKN-Rantau, dll. Kehadiran gereja, walaupun kecil dalam hal kuantitas, telah menjadi wadah persekutuan dan pembinaan iman bagi orang yang beragam, yang secara khusus telah dipanggil Allah untuk menjadi anak-anak-Nya, menjadi warga Kerajaan-Nya, dan menjadi saksi-Nya bagi dunia. (WBM)
(Sumber: rangkuman tulisan dari beberapa situs di internet, termasuk wikipedia)
DOA ABAK KAMI
(Doa Bapa Kami)
Abak kami nan di sarugo,
disucikan lah Namo Angkau.
Tibolah Karajaan Angkau,
balakulah niaik Angkau di bumi ko bak di sarugo.
Agiahlah makanan kami sacukuiknyo untuk hari ko.
Ampunkanlah kasalahan kami
bak cando kami ma’ampuni urang nan basalah kabakek kami.
Janlah mambao kami kadalam pancuboan,
tapi lapehkanlah kami dari pado nan jaek,
dek karano Angkau suranglah nan punyo Karajaan
jo kuaso, sarato kamuliaan sampai salao-lamonya. Amin.