SECERCAH PERJUMPAAN INJIL DAN BUDAYA DI AMBON
“Ambon Manise” yang berarti Ambon yang indah, cantik, dan manis menjadi julukan khas bagi sebuah kota kecil yang sejak awalnya telah menjadi pusat pelabuhan, pariwisata, dan pendidikan di kepulauan Maluku. Dari aspek ekonomi, Ambon merupakan salah satu kota utama di wilayah pembangunan Indonesia bagian timur.
Sebelum ekspansi Eropa, masyarakat asli Ambon telah menganut agama suku yang disebut agama “tete-nene moyang.” Pada tahun 1257, Sultan Ternate telah menyebarkan agama Islam dari Maluku bagian utara sampai ke Ambon melalui jalur perdagangan. Pekabaran Injil dimulai dengan masuknya agama Kristen Katolik pada tahun 1512 melalui para saudagar dari Portugis. Pada saat itulah terjadi perjumpaan agama Katolik dengan agama Islam dan agama suku. Penduduk yang beragama suku sering meminta perlindungan kepada orang Portugis karena tidak dapat menghadapi tekanan Sultan Ternate dan raja-raja Islam lainnya. Tak jarang, muncul permintaan bantuan militer yang disertai permohonan untuk dibaptis menjadi penganut Katolik.
Tokoh Katolik yang paling terkenal adalah Fransiskus Xaverius. Ia adalah seorang imam yang melayani di Asia, termasuk di Indonesia. Mula-mula dari Sulawesi Selatan, lalu ke Malaka, dan melanjutkan misinya sampai ke Ambon. Metode khas dari Xaverius adalah pengajaran agama Kristen dengan menggunakan bahasa Melayu. Dia mengajak umat untuk mengulangi rumusan pokok iman Kristen, seperti Pengakuan Iman Rasuli, Doa Bapa Kami, Salam Maria, Sepuluh Perintah Tuhan, dan lain-lain, sampai mereka menghafalnya dengan baik. Pada malam hari, sambil memegang lonceng kecil, Xaverius berkeliling kota ditemani seorang anak laki-laki yang membawa salib di depannya. Dia berjalan dari rumah ke rumah untuk mengajak orang mendoakan jiwa-jiwa supaya bertobat, menanyakan apakah ada yang sakit, lalu mendoakan mereka serta mengajak mereka untuk menyebutkan Pengakuan Iman Rasuli. Fransiskus Xaverius melayani di Ambon hanya selama 15 bulan. Sebelum meninggalkan Ambon, di setiap kampung Kristen, ia mengangkat para pengajar yang dipandangnya paling maju dalam pengetahuan tentang iman Kristen di kampungnya masing-masing.
Pada awal abad ke-17, melalui kedatangan VOC, pekabaran Injil diambil alih oleh para misionaris Kristen Protestan. Kala itu berlaku semboyan “siapa punya negara, dia punya agama.” Semua orang Katolik dipaksa menjadi Protestan. Metode pendekatan yang dilakukan oleh Portugis yang sangat menekankan pengembangan pendidikan, kesehatan, dan spiritualitas tidak dilakukan oleh VOC. Imam-imam Katolik diusir. Untuk sementara waktu, mereka tidak diganti. Tidak ada lagi ibadah. Sekolah pun dihentikan. VOC belum mempunyai tenaga untuk memelihara orang-orang Kristen yang sudah ada ataupun mengabarkan Injil kepada orang-orang yang bukan-Kristen. Di benteng hanya ada seorang "penghibur orang-orang sakit," yang bertugas juga mengucapkan doa pagi dan doa malam dan membacakan khotbah yang ditulis oleh seorang pendeta di Belanda pada hari Minggu. Orang yang demikian ditempatkan di setiap kapal dan benteng VOC. Mereka tidak diberi pendidikan khusus dan belum ditugaskan untuk memperhatikan orang-orang Indonesia.
Setelah dua tahun, ketika Ambon kembali dikunjungi oleh suatu armada VOC, orang-orang Kristen Ambon meminta agar sekolah dibuka kembali. Permintaan itu dikabulkan. Mantri kesehatan dari kapal-kapal Belanda turun ke darat dan menjadi guru sekolah di Ambon. Di sekolah itu, anak-anak belajar membaca, menulis, dan menghitung. Semuanya dalam bahasa Belanda. Mereka juga menghafal Doa Bapa Kami, Pengakuan Iman Rasuli, dan Dasa Titah dalam bahasa Belanda maupun bahasa Melayu. Orang-orang Ambon, atas kehendak mereka sendiri, tetap berada dalam lingkungan agama dan kebudayaan Kristen, dalam "Corpus Christianum" versi Belanda.
Masa peralihan masih berlangsung selama beberapa tahun lagi. Selama itu, VOC sibuk mencari tenaga pendeta di tanah air; pendeta pertama datang ke Ambon pada tahun 1612. Sejak itu, terus-menerus bertambah sampai enam orang. Pernah juga ada usaha mendidik pendeta-pendeta Ambon. Akan tetapi, rencana tersebut kandas karena pendeta Belanda yang memprakarsai pendidikan itu tiba-tiba dipanggil ke Batavia (Jakarta). Setelah tahun 1780, kekuasaan VOC merosot dengan cepat. Gereja pun ikut menderita, terutama gereja di "daerah-daerah pinggir." Jumlah pendeta Belanda di Indonesia berkurang dengan cepat. Di Ambon tinggal satu orang saja. Antara tahun 1803-1815 tidak ada seorang pun pendeta di seluruh Maluku. Itu berarti bahwa selama puluhan tahun jemaat-jemaat di luar wilayah pusat hampir tidak mengalami kunjungan dan pelayanan sakramen, tidak ada khotbah (kecuali yang sudah dicetak satu abad yang lalu). Selama masa itu, seluruh kehidupan gereja dijalankan oleh para guru sekolah.
Pada tahun 1815, mulailah zaman baru bagi gereja di Maluku dengan hadirnya Joseph Kam, seorang pendeta Kristen Protestan dari Belanda. Ia datang dengan gaya Pietisme/Revival yang menekankan perkabaran injil bagi mereka yang belum Kristen. Kam lebih memusatkan pelayanannya pada pengajaran dan pengembangan agama Kristen di Ambon. Ia memulai pelayanannya dengan metode “kelompok-kelompok.” Ia mengajak orang Ambon membentuk kelompok-kelompok untuk mengadakan latihan-latihan rohani dan kumpulan-kumpulan doa. Ia juga mengadakan pelayanan sakramen kepada orang banyak dan menegakkan disiplin gereja. Ia segera mengejar ketinggalan yang terjadi akibat tidak adanya pendeta selama bertahun-tahun. Ia juga memperkaya orang-orang Ambon dengan buku-buku Kristen dan Alkitab dengan bahasa Melayu. Berkat pelayanannya, ia mendapat gelar “Rasul Maluku.”
Kelompok-kelompok yang dibentuk oleh Yoseph Kam itu menghasilkan guru-guru Ambon yang kemudian melanjutkan pelayanan Kam. Berkat keyakinan untuk membangun gerejanya sendiri, pada tanggal 6 september 1935, Gereja Protestan Maluku (GPM) di Ambon yang awalnya tergabung dalam Indische Kerk menyatakan dirinya sebagai gereja yang mandiri.
Ambon yang terkenal dengan kemajemukkan agama, ternyata memiliki kekayaan budaya yang melekat pada diri orang Ambon. Salah satunya adalah budaya “Pela Gandong” yang lahir dari tantangan hidup di tengah kemajemukkan. “Pela Gandong” merupakan ikatan persahabatan atau persaudaraan yang dilembagakan antara seluruh penduduk pribumi dari dua desa atau lebih. Bagi orang Ambon budaya “Pela Gandong” merupakan suatu landasan semua aspek kehidupan pada kerangka solidaritas persaudaraan dalam membangun kehidupan bersama di antara mereka. Dalam pandangan sosiologis, budaya “pela Gandong” berfungsi sebagai pengendali stabilitas sosial, sarana integrasi sosial dan sarana komunikasi sosial. Bahkan, budaya “Pela” tidak hanya menyangkut hubungan antar sesama manusia saja, tetapi suatu ikatan hubungan antara manusia dengan Yang Ilahi.
“Pela Gandong” menuntut sumpah dari kedua belah pihak yang biasanya dilakukan oleh para leluhur. Pengangkatan pela tidak hanya terjadi antara desa yang berbeda agama, tetapi jugua antara desa-desa yang memeluk agama yang sama. Adapun nilai utama yang mau ditekankan dalam budaya “Pela Gandong” adalah setiap orang Ambon adalah keluarga. Penekanan pada keluarga mau menunjukkan bahwa walaupun masyarakat Ambon merupakan masyarakat yang majemuk, namun itu bukanlah suatu alasan bagi mereka untuk tidak berelasi dengan sesama yang berbeda. Hubungan keluarga tidak hanya dimaknai dalam pertalian saudara sedarah, tetapi juga dimaknai dalam kerangka bahwa semua manusia pada hakikatnya adalah sama dan harus saling menghargai antara yang satu dengan lainnya. (LMP)
Keterangan gambar: Pada tanggal 6 september 1935 berdirinya Gereja Protestan Maluku(GPM) di Ambon.
Daftar Pustaka:
1. Batlajery, Agustinus. M. L. 2014. Ecclesia Reformata Semper Reformanda. PT BPK Gunung Mulia, Jakarta. Halaman 50-51
2. End, Dr. Th. van den. 2001. Ragi Carita 1. PT BPK Gunung Mulia, Jakarta. Halaman 65 – 79
3. Cooley, L. Frank. 1987. Mimbar dan takhta: hubungan lembaga-lembaga keagamaan pemerintah di Maluku Tengah. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. Halaman 183