MENGAPA ANAK DIPERKENANKAN IKUT SERTA DALAM PERJAMUAN KUDUS?


Sama seperti orang dewasa, anak juga menerima anugerah keselamatan dari Allah dalam Yesus Kristus yang telah mengurbankan tubuh dan darah-Nya di kayu salib. Anugerah keselamatan ini sudah dikenal anak sejak usia dini melalui orangtua dan guru Sekolah Minggu. Bahkan anak juga sudah menerima sakramen baptisan kudus. Anugerah keselamatan dari Yesus Kristus diterima dan dihayati melalui dua sakramen: baptisan kudus dan perjamuan kudus. Jika anak diperkenankan menerima sakramen baptisan, mengapa selama ini mereka tidak diperkenankan mengikuti perjamuan kudus?

GKI berada pada alur teologi Calvinis. Calvin tidak memperkenankan anak mengikuti perjamuan kudus hingga mereka mengerti arti perjamuan kudus. Alasan “mengerti” (secara kognitif) inilah yang sering dipakai sebagai alasan banyak orang/ gereja untuk menolak keikutsertaan anak dalam perjamuan kudus. Namun demikian, sejak tahun 1996 gereja-gereja yang tergabung dalam REC (Reformed Ecumenical Council), di mana GKI Jawa Tengah menjadi salah satu anggotanya, memutuskan anak-anak diperkenankan mengikuti perjamuan kudus. Keputusan ini diambil setelah melalui studi dan diskusi panjang selama bertahun-tahun. Sayangnya GKI Jawa Tengah tak kunjung melaksanakan keputusan ini, hingga kesadaran muncul pada tahun 2012 dengan diselenggarakannya studi tentang keikutsertaan anak dalam perjamuan kudus. Hasil studi telah dibahas di klasis-klasis dan persidangan sinode wilayah GKI SW Jawa Tengah tahun 2013 dan 2014.

Dalam Alkitab tidak ada istilah Perjamuan Kudus. Yang ada adalah Perjamuan Paskah dan Perjamuan Tuhan. Perjamuan Paskah dilakukan bangsa Israel sejak peristiwa menjelang ke luarnya bangsa Israel dari Mesir. Saat itu bangsa Israel diminta untuk menyembelih domba, dan menyapukan darah domba pada ambang pintu rumah, agar malaikat yang hendak mencabut nyawa anak sulung “melewati” (= pesach, akar kata Paskah) rumah-rumah bangsa Israel. Kemudian bangsa Israel menyelenggarakan perjamuan paskah pertama, yang terus dilakukan tiap tahun hingga kini, pada hari ke-14 dalam bulan Nisan (Im. 23:4; Bil. 9:3-5, Bil. 28:16) selama seminggu (sampai hari ke-21). Dalam perjamuan Paskah seorang anak bertanya apa arti semua ini. Kepala keluarga menjelaskan makna dan berkat yang terkandung dalam perjamuan Paskah (Kel. 12:26-27; 13:14) dan menceritakan ringkasan kisah keluaran dari Mesir; dilanjutkan dengan nyanyian pujian (Mzm 113 dyb) dan minum dari ‘cawan pengucapan syukur.’ Setelah itu kepala keluarga mengucap berkat atas roti tak beragi, memecah-mecahkannya dan membagikan kepada seluruh isi rumahnya; semua makan roti tak beragi itu bersama dengan sayur-mayur pahit serta daging domba Paskah, dan diakhiri dengan minum dari ‘cawan berkat.’ Pengucapan berkat diyakini akan akan membuat semua yang ikut serta makan Paskah akan mendapatkan berkat yang terkandung dalam perjamuan Paskah itu.

Perjamuan yang dilakukan Yesus dan rombongannya pada malam sebelum Ia disalibkan adalah perjamuan Paskah (Mat. 26:17; Mrk. 14:12; Luk. 22:8). Pada perjamuan ini pasti hadir minimal seorang anak, sebab tanpa anak ritus perjamuan Paskah tak bisa dilaksanakan. Luk. 8:1-3 menggambarkan adanya perempuan-perempuan yang mengikuti Yesus sejak dari Galilea hingga Yerusalem. Perempuan tak bisa dilepaskan dari anak-anak. Komunitas Yesus bukan hanya 12 laki-laki, namun juga ada perempuan-perempuan dan anak-anak.

Di tengah-tengah perjamuan Paskah itulah Yesus melakukan apa yang kemudian kita kenal sebagai Perjamuan Kudus di gereja. Mrk. 14: 22-24 Dan ketika Yesus dan murid-murid-Nya sedang makan, Yesus mengambil roti, mengucap berkat, memecah-mecahkannya lalu memberikannya kepada mereka dan berkata: “Ambillah, inilah tubuh-Ku.” Sesudah itu Ia mengambil cawan, mengucap syukur lalu memberikannya kepada mereka, dan mereka semuanya minum dari cawan itu. Dan Ia berkata kepada mereka: “Inilah darah-Ku, darah perjanjian, yang ditumpahkan bagi banyak orang.” Dengan demikian perjamuan Paskah itu diberi makna baru oleh Yesus. Bukan lagi sebagai peringatan peristiwa keluaran dari Mesir, perjamuan Paskah Tuhan berpusat pada karya penebusan Yesus di kayu salib demi kelepasan dari kuasa dosa. Namun hal berkat kelepasan dan keselamatan dari Allah yang diberikan kepada seluruh isi keluarga, termasuk anak-anak, dalam perjamuan Paskah Yahudi tidak diubah oleh Yesus. Dengan tetap dilakukannya perjamuan Tuhan dalam jemaat Kristen, bolehlah kita simpulkan bahwa keikutsertaan anak-anak juga ada dalam Perjamuan Tuhan (Perjamuan Kudus).

Istilah ”Perjamuan Tuhan” hanya ada pada 1 Kor. 11: 20. Paulus menuliskan surat 1 Korintus untuk menyelesaikan perpecahan dalam jemaat Korintus. Untuk itu ia memakai ritus Perjamuan Tuhan dalam langkah pastoralnya, khususnya bagian ritus yang berkaitan dengan “darah perjanjian” untuk mendorong jemaat membuat janji agar mereka mau menjadi bagian “kesatuan” dari darah Kristus, yaitu dengan menolong saudara seimannya untuk mendapatkan kelepasan dari dosa dan diselamatkan (jadi ada perjanjian dua belah pihak yang dimeteraikan oleh darah Kristus).

Selain itu, pembicaraan tentang perjamuan Tuhan dikaitkan dengan makan bersama yang tidak menampakkan perjamuan Tuhan sama sekali, yakni “pada perjamuan itu tiap-tiap orang memakan dahulu makanannya sendiri, sehingga yang seorang lapar dan yang lain mabuk” (1 Kor. 11: 21). Kebiasaan yang tidak benar ini harus diubah oleh jemaat Korintus. Maka untuk tujuan pastoralnya, Paulus masih menambahkan lagi hal “pemeriksaan kelayakan diri” (1 Kor. 11: 27-28) agar jemaat sungguh-sungguh berpegang pada perjanjian itu.

Jika dibandingkan antara 1 Korintus dan Lukas, jelas sekali bahwa 1 Korintus sangat spesial untuk jemaat Korintus. 1 Kor. 11:25 “Cawan ini adalah perjanjian baru yang dimeteraikan oleh darah-Ku; perbuatlah ini, setiap kali kamu meminumnya, menjadi peringatan akan Aku!” Lukas 22:20 Cawan ini adalah perjanjian baru oleh darah-Ku, yang ditumpahkan bagi kamu.” Surat 1 Kor ditulis tahun 55, injil Lukas tahun 90. Peniadaan unsur “meterai darah” ini untuk menghilangkan adanya unsur “perjanjian dua pihak” antara Allah dan manusia. Sebab kelepasan dari kuasa dosa dan keselamatan manusia sepenuhnya adalah karya anugerah Allah!

Dalam sejarah gereja, pada awalnya anak mengikuti perjamuan kudus. Hal ini masih terus dipraktekkan oleh gereja timur (Gereja Orthodox) tanpa ada masalah. Bahkan bayi juga mengikuti perjamuan kudus yang berupa anggur. Dasarnya adalah rahmat ilahi, kehidupan di dalam Kristus, dan partisipasi dalam gereja. Sedangkan di gereja barat sampai 1200 tahun anak-anak diperkenankan mengikuti perjamuan kudus. Barulah pada abad XIII, dengan adanya ajaran transubstansiasi (roti dan anggur benar-benar berubah menjadi tubuh dan darah Yesus), anak-anak dilarang mengikuti perjamuan kudus. Mengapa? Dengan adanya ajaran transubstansiasi, muncul kekuatiran terjadi penumpahan anggur atau penjatuhan roti. Maka, teori “usia akal budi” mulai muncul di Konsili Lateran Keempat (1215) dan ditajamkan di dalam Konsili Trente (1562). Anak harus sudah mencapai usia akal budi baru diperkenankan mengikuti perjamuan kudus. Calvin menolak ajaran transubstansiasi, namun menerima usia akal budi yang kemudian diubah menjadi usia mengerti secara kognitif. Namun pada abad XX banyak gereja Calvinis mengikutsertakan anak dalam perjamuan kudus dengan alasan yang dipakai gereja mula-mula: rahmat ilahi, kehidupan di dalam Kristus, dan partisipasi dalam gereja.

Perjamuan kudus tidak hanya dimengerti secara kognitif, tapi juga dihayati secara afektif. Memang iman Kristen tidak hanya kognitif tapi juga afektif. Bahkan keselamatan yang diterima melalui iman itu pun suatu misteri yang tak perlu hanya dipahami secara kognitif; justru misteri lebih tepat untuk dihayati secara afektif. Tata Laksana GKI pasal 25 ayat 3 menyatakan: ”Majelis Jemaat mempersiapkan perayaan perjamuan kudus agar anggota memahami dan menghayati arti perjamuan kudus.” Memahami berhubungan dengan segi kognitif, sedangkan menghayati berhubungan dengan segi afektif.

Jika anak-anak telah mengikuti perjamuan kudus, apakah mereka masih perlu sidi? Ya. Sebab sidi terkait dengan baptisan. Sidi berarti mengamini baptisan anak yang diterimanya dulu. Dengan sidi maka seseorang menjadi dewasa dalam iman, bukan anak-anak lagi.