KOMUNITAS GUMUL JUANG (Tokoh Inspiratif Kepedulian)
Kota Jakarta adalah kota yang menampilkan dua corak wajah Asia yaitu kemiskinan dan kemajemukan, di balik kemewahan dan kemegahannya. Di setiap sudut kota Jakarta kita dapat melihat bagaimana kemiskinan tumbuh subur. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya permukiman kumuh. Dampak dari kemiskinan tersebut dapat dilihat dari banyaknya anak jalanan, pengemis/pemulung, dan pengamen, bahkan pelacuran. Di tengah-tengah lingkaran kemiskinan ini kita juga tidak dapat lepas dari konteks kota Jakarta yang sangat majemuk. Di kota ini seluruh etnis, suku, agama dan golongan hidup. Banyak yang dapat hidup berdampingan dengan harmonis, namun tidak sedikit juga yang sering kali terlibat konflik horizontal.
Konteks kemiskinan dan kemajemukan, mau tidak mau, suka tidak suka, harus disikapi oleh orang Kristen yang tinggal dan menetap di kota Jakarta.Orang Kristen (baca: gereja) tidak boleh tinggal diam melihat fenomena ini, karena kita sebagai orang Kristen juga berada di dalamnya. Salah satu komunitas yang terdiri atas mahasiswa-mahasiswa teologi dan filsafat berusaha menjawab konteks kota Jakarta dengan secara khusus melakukan pelayanan berupa pendampingan dan pemberdayaan masyarakat miskin di pinggir sungai Ciliwung.
Komunitas itu bernama Komunitas Gumul Juang (KGJ) yang saat ini dipimpin oleh Sdr. Ronald Pekuwali (Pelayan Khusus Pemuda GKI Kebayoran Baru). Komunitas ini telah melakukan pelayanan dibantaran sungai Ciliwung selama 5 tahun dengan konsep pemberdayaan masyarakat. KGJ dibentuk pada tahun 2009 dan beranggotakan 6 orang sampai saat ini. Anggotanya merupakan mahasiswa STT Jakarta dan seorang mahasiswa STF Driyarkara.
Warga miskin bantaran sungai Ciliwung merupakan kelompok masyarakat miskin yang telah hidup dibantaran sungai Ciliwung kurang lebih selama 60 tahun lamanya. Selama itu jugalah warga ini hidup dalam kemiskinan dan berbagai persoalan sosial lainnya seperti pelacuran, peredaran NARKOBA, dan premanisme. Pada umumnya warga Ciliwung bekerja sebagai buruh kasar, tukang kayu, sopir angkot, pembantu rumah tangga, buruh cuci, pemulung, dan pengamen jalanan. Mereka tidak memiliki pendidikan yang cukup dan memiliki persoalan serius dengan kesehatan dan gizi terutama bagi anak-anak. Ironis…, karenadaerah ini ada di ibukota negaradan tidak jauh dari Istana Negara.
Melihat konteks ini KGJ tersentuh hatinya dan terpanggil untuk melayani warga yang setiap tahunnya selalu mengalami bencana banjir ini. KGJ memakai metode menetap dan tinggal bersama warga sebagai cara jitu untuk melakukan pemberdayaan warga Ciliwung. KGJ yang semua anggotanya beragama Kristen merasa perlu untuk menetap di Ciliwung sehingga warga dapat menerima keberadaan orang yang beriman berbeda dari mereka.
Pemberdayan masyarakat pinggir sungai Ciliwung meliputi beberapa program: program pendidikan (bimbingan belajar), peduli lingkungan (membersihkan sampah di pinggir sungai Ciliwung dan membina warga agar tidak membuang sampah di pinggir sungai Ciliwung), program olahraga (senam ibu-ibu, futsal, dan sepak bola), membentuk karang taruna, pemberdayaan ekonomi (menciptakan ekonomi kreatif bagi warga), posyandu (kesehatan ibu dan anak), merayakan kemajemukan ( membentuk kelompok pengajian dan menjalin dialog antar iman), serta tanggap darurat bencana alam, seperti banjir.
Situasi saat ini mendesak kita untuk berbuat sesuatu, dan hal ini harus dimulai dari diri kita sendiri, untuk mencabut akar penyebab krisis kemiskinan dan memutuskan dampak berkesinambungan yang disebabkannya.
Kiranya apa yang dilakukan oleh KGJ dapat menjadi motivasi bagi kita semua untuk saling peduli. Kepedulian terhadap keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan. Kepedulian yang menjadi embrio masa depan yang penuh harapan, sehingga kemiskinan, ketidakadilan, rusaknya alam lingkungan akan kita kenang sebagai sejarah yang telah lewat. Kita songsong sejarah baru, dengan kepedulian yang membebaskan.
Mari peduli…!!! Inilah cerminan kasih kita kepada Sang Pemilik Kehidupan dan seluruh ciptaan-Nya.